hab

hab

Jumat, 06 Januari 2017

Masjid Sebagai Tempat Pembinaan dan Kaderisasi Umat*

Oleh: Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag

 A. PENDAHULUAN
Dalam pengertian sehari-hari, masjid dikenal sebagai rumah ibadah umat Islam. Selain masjid, rumah ibadah yang umat Islam yang mempunyai fungsi sama dengan masjid yaitu: mushalla, surau, dan langgar. Namun pada dasarnya, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih luas daripada ini (yaitu shalat).
Berdasarkan arsitekturnya, seni bentuk bangunannya, masjid ternyata juga mengadung fungsi seni. Masjid di tiap negara dan daerah ternyata memiliki ragam corak, mulai yang sederhana sampai bentuk moderen bahkan menggambarkan kekhasan masing-masing tempat di mana masjid itu didirikan. Sejarah dan bentuk bangunan masjid sering dijadikan sebagai ukuran peradaban (tingkat kebudayaan) umatnya pada masa itu, sehingga banyak masjid yang dijadikan situs kebudayaan sekaligus tempat kunjungan wisata bahkan bagi sebagian orang sebagai “tempat keramat”.
Seiring perkembangan zaman dan semakin banyaknya bangunan yang dibuat, fungsi masjid semakin berkurang dan kegiatan tertentu berpindah tempat dari masjid ke bangunan lainnya. Faktanya, upaya membangun masjid tak pernah berhenti, baik membangun baru atau sekedar merenovasi yang sudah ada.
Selain fungsi-fungsi di atas, masjid yang dikenal sebagai tempat ibadah ritual (mahdhah) ternyata dalam sejarahnya juga difungsikan untuk berbagai aktivitas umum yang menyangkut kepentingan jamaah. Di antara fungsi penting masjid dalam soal ini adalah sebagai tempat pembinaan dan kaderisasi umat. Sebagai tempat pembinaan dan kaderisasi umat, masjid dapat difungsikan pada dua aspeknya, yaitu: Pertama, Tempat pembinaan dan kaderisasi jamaah; dan Kedua, Tempat pembinaan dan kaderisasi pengurus (ta’mir)-nya. Pemanfaatan fungsi masjid secara maksimal diharapkan bisa mengurangi beban sosial dan ekonomi umat.

B. MEMAHAMI MAKNA MASJID
Apabila seseorang bertanya, “Apakah masjid itu?”, umumnya jawaban yang diperoleh: “Masjid adalah tempat shalat, terutama shalat Jum‘at.” Dilihat dari satu segi jawaban itu benar, tapi apabila dilihat dari segi makna pengertian masjid yang sesungguhnya jauh lebih luas.
Menurut bahasa (etimology), kata masjid berasal dari kata Arab dengan akar kata sajada, yasjudu, masjidan (isim makan); yang berarti tempat sujud. Dari arti kata itu melahirkan dua makna terminologi, secara formal dan substansial. Secara formal masjid dimaknai sebagai “bangunan” rumah ibadah umat Islam yang memiliki bentuk tertentu. Sedangkan secara substansial, adalah tempat di mana kita menunjukkan ketundukan kita kepada Allah yang tidak dibatasi oleh dinding, lantai dan atap. Makna ini memberikan semangat bahwa setiap jengkal bumi Allah adalah masjid.
Sidi Gazalba (1994: 118-119) berpendapat, sujud adalah pengakuan ibadah, yaitu pernyataan pengabdian lahir yang dalam sekali. Setelah iman dimiliki jiwa, maka lidah mengucapkan ikrar keyakinan sebagai pernyataan dari milik ruhaniah itu. Setelah lidah menyatakan kata keyakinan, jasmani menyatakan gerak keyakinan dengan sujud (dalam shalat). Sujud memberikan makna bahwa apa yang diucapkan oleh lidah bukanlah kata-kata kosong belaka. Kesaksian atau pengakuan lidah diakui oleh seluruh jasmani manusia dalam bentuk gerak lahir, menyambung gerak batin yang mengakui dan meyakini iman. Hanya kepada Tuhanlah satu-satunya muslim sujud, dan tidak kepada yang lain, tidak kepada satupun dalam alam ini.
Waktu Rabi‘ah bin Ka‘ab meminta kepada Nabi, “Saya minta supaya menemani tuan dalam surga”. Menjawablah Nabi: “Adakah lagi permintaanmu?.” Waktu Rabi‘ah menjawab: “Hanya itu saja”, bersabdalah Rasulullah: “Jika demikian, tolonglah aku untuk dirimu sendiri dengan memperbanyak sujud!.” Kesimpulan dari hadits ini adalah, orang yang memperbanyak sujud  masuk surga. Siapakah isi surga itu? Mereka adalah muslim sejati. Jadi muslim sejati melakukan banyak sujud. Karena itulah seluruh jagad adalah masjid bagi muslim. Jadi seluruh bumi adalah tempat sujud kepada Tuhan. Ini berarti seluruh bumi adalah tempat untuk memperhamba diri pada Tuhan.
Sujud dalam pengertian lahir bersifat gerak jasmani, sedangkan dalam pengertian batin berarti pengabdian (Sidi Gazalba, 1994: 119). Maka, dalam kewajiban menyembah Tuhan, muslim tidak terikat oleh ruang. Di rumah, di kantor, di sawah, di hutan, di gunung, di kendaraan, di pinggir jalan, di manapun juga, adalah masjid bagi muslim.
Rasulullah SAW biasa shalat di mana saja apabila waktunya sudah datang waktu shalat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW. bersabda: “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri” (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).
Dengan demikian, masjid sebagai tempat shalat adalah fungsi kedua dari masjid, karena seperti yang diuraikan di atas, di luar masjid shalat juga bisa dilakukan. Dari segi makna pengertian masjid yang sesungguhnya jauh lebih luas, daripada sekedar tempat shalat.

 C. FUNGSI MASJID DALAM LINTASAN SEJARAH
Menarasikan tentang historis masjid maka tidak bisa lepas dari satu momentum strategis yang mengawalinya yaitu peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi beserta para sahabat. Peristiwa ini sendiri mempunyai makna strategis dan taktis dalam perjuangan menegakkan keislaman. Oleh sebab itu maka sesungguhnya masjid yang dibangun kala itu adalah juga merupakan bagian dari pilihan strategi yang dibuat oleh Nabi untuk pemenangan terhadap Islam itu sendiri, selain tentunya sebagai tempat yang mewadahi ibadah shalat yang dikerjakan.
Peristiwa pendirian masjid yang pertama memberikan kepada kita makna apa yang sesungguhnya dikandung oleh masjid. Setelah kira-kira 12 tahun menjalankan tugas kerasulan di Makkah, Allah SWT menyuruh Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah). Dalam sejarah tercatat, ketika Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah), setibanya beliau di Quba’ pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 nubuwwah atau tahun pertama hijrah, bertepatan tanggal 23 September 662 M langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid.
Masjid Quba’ adalah masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW (lihat M. Quraish Shihab, 1996). Beliau berada di Quba’ (6 km sebelum memasuki kota Madinah) selama empat hari, yaitu hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal, beliau berangkat menuju Madinah. Setelah beberapa hari di Madinah beliaupun mendirikan Masjid Madinah. Masjid itu merupakan ruang berdinding batu bata, bertiang batang kurma dan beratap pelepah kurma, sebagian dibiarkan terbuka. Di sampingnya digunakan sebagai tempat tinggal Nabi dan keluarga suffah yang tak punya rumah. Pada awalnya tak ada penerangan pada malam hari selain dan cahaya dari jerami yang dibakar pada waktu shalat Isya’. Selanjutnya baru digunakan lampu-lampu yang dipasang pada tiang-tiang batang kurma.
Satu yang dapat disimpulkan adalah bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan arti penting bagi pembangunan masjid. Bukan rumah kediaman beliau yang didahulukan dibangun, bukan juga sebuah benteng pertahanan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Makkah. Bagi Nabi Muhammad SAW masjid dianggap lebih penting daripada semua itu .
Masjid menjadi bagian utama dalam pembinaan umat dan masyarakat selanjutnya. Ini menunjukkan bahwa masjid menduduki tempat sangat penting dalam rangka membina pribadi dan masyarakat guna membantu pribadi dan masyarakat yang Islami (lihat http://hmasoed.wordpress.com/2011/01/10/mesjid-sebagai-pusat-pembinaan-ummat/).
Pada masa Rasulullah SAW demikian pula pada masa Khulafa al-Rasyidin, masjid berfungsi ganda. Selain tempat ibadah ritual (shalat dan baca Al Qur‘an), masjid juga mempunyai fungsi sosial, di antaranya: Pertama, Tempat pertemuan Umat Islam; Kedua, Pusat dakwah dan pendidikan rohani; Ketiga, Tempat pembinaan remaja muslim; Empat, Tempat musyawarah; Lima, Tempat konsultasi dan komunikasi (ekonomi); Enam, Tempat santunan dan kegiatan sosial budaya; Tujuh, Madrasah ilmu; Delapan, Tempat bermula gerakan taushiyah dan amar ma’ruf nahi mungkar; Sembilan, Tempat latihan jasmani mengatur siasat usaha; Sepuluh, Tempat pengobatan; Sebelas, Tempat perlindungan yang aman; Dua belas, Aula tempat menerima tamu dan persinggahan musafir.
Agaknya masjid pada masa ini mampu berperan sedemian luas, disebabkan antara lain oleh: Pertama, Masyarakat masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama; Kedua, Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan keperluan masyarakat dengan kegiatan masjid; Ketiga, Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada peribadi­-peribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/ khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat kegiatan syura pemerintahan; Keempat, Masjid berfungsi sebagai pembinaan umat, memiliki  sarana yang tepat manfaat, menarik dan menyenangkan semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin (lihat http://hmasoed.wordpress.com/2011/01/10/mesjid-sebagai-pusat-pembinaan-ummat/).
Namun demikian, pada masa setelah Khulafa al-Rasyidin, kegiatan tertentu sudah dilaksanakan di bangunan, sehingga masjid pun semakin terbatas fungsinya. Di sisi lain, bangunan masjid semakin mengalami perubahan, baik jumlah, bentuk arsitekturnya maupun luasannya. Sejak itulah masjid mengalami perkembangan yang berlawanan arah. Secara fisik (bentuk, jumlah dan luasan) bertambah, namun pemanfaatannya semakin terbatas. “Kaya fisik, miskin fungsi.” Dalam pengertian lain, masjid pada saat sekarang ini, menjadi investasi umat yang sangat mahal, tetapi belum bermanfaat secara maksimal.
Fakta penting yang terjadi adalah masjid dibangun sedemikian banyak, namun belum mampu menghantarkan masyarakat Indonesia seperti para sahabat Rasulullah. Tercatat menurut rekapitulasi Masjid dan Mushola di DKI Jakarta, jumlah masjid yang berada di wilayah DKI sebanyak 2831 Masjid dan 5661 Mushola. Sedangkan di Indonesia, menurut Dr H Ahmad Sutarmadi dalam wawancara dengan harian Republika, diperkirakan 700 ribu Masjid berdiri yang merupakan terbesar di Dunia . Masjid menjadi bangunan-bangunan megah tapi sepi dari ruh umat, kosong dan hanya untuk kegiatan-kegiatan ibadah ma’dhoh saja. Bahkan beberapa masjid ramai hanya untuk resepsi pernikahan dan mengalahkan kegiatan pengajian hanya karena menggangu pemandangan tamu undangan (lihat http://www.jprmi.or.id/tentang-kami/sejarah/item/84-optimalisasi-peran-masjid?tmpl=component&print=1).

D. FALSAFAH MENARA MASJID
Menurut Al Farabi, kata falfah atau filsafat itu diadopsi dari Bahasa Yunani yang masuk dan dipergunakan sebagai bahasa Arab, yaitu berasal dari kata philosophia. Philo berarti cinta dan sophia berarti hikmah. Dan oleh karena itu philosophia berarti cinta hikmah atau cinta kebenaran (Poerwanto, dkk., 1991: 1).
Selanjutnya Pudjawijatna seperti dikutip Moh. Haitami Salim dan Erwin Mahrus (2006: 2) menerangkan lebih jauh arti dua kata tersebut sebagai berikut: Filo artinya cinta dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin; dan karena ingin itu berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan itu. Sofia artinya “kebijaksanaan”. Bijaksana itupun kata asing, dan artinya “pandai mengerti dengan mendalam.” Jadi menurut namanya saja, “filsafat” boleh dimaknakan “ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan”.
Pada bagian ini sengaja penulis paparkan tentang pemikiran penulis, bahwa bangunan masjid tidak sekedar bangunan fisik yang tak ada nilainya sama sekali, tapi mengandung nilai-nilai filosofis (falsafah) yang mendalam.
Pada umumnya setiap bangunan masjid (bagaimanapun bentuk arsitekturnya) memiliki menara yang selalu lebih tinggi dari bangunan utamanya. Kehadiran menara bukan sekedar melengkapi bangunan utama dalam fungsi arsitektur, tetapi memiliki simbol yang kaya dengan nilai-nilai falsafahnya.
Nilai-nilai falsafah inilah yang seharusnya menjadi semangat sekaligus dasar pembinaan dan kaderisasi umat, khususnya untuk jamaah dan pengurus masjidnya. Di antara nilai-nilai falsafah menara masjid itu memberikan fungsi sebagai berikut: Pertama, Pusat pengiriman sinyal getaran asma Allah, penyampaian pesan-pesan amar ma’ruf dan nahi munkar; Kedua, Pusat data jamaah dan masyarakatnya; Ketiga, Pusat pembelajaran dan pengembangan wawasan; Keempat, Pusat pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan; dan Kelima, Pusat pertahanan umat.

 E. MASJID SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Dari uraian di atas, penulis hendak mengambil salah satu contoh yang ingin dibahas pada bagian ini, yaitu fungsi masjid sebagai “pusat dan pengembangan wawasan.”
Masa-masa awal perkembangan Islam bisa kita teladani dalam soal ini, di mana masjid menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam. Sebagai pusat pendidikan di masjid diadakan tempat belajar (halaqah ta’lim) (lihat Muhammad Munir Mursyi, 1982: 199).
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Rasulullah SAW benar-benar mengoptimalkan fungsi masjid dalam membangun masyarakat Islam (yaitu di Madinah) menuju peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini. Di dalam masjid ini, Rasulullah mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah, di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari (Muhammad al Shadiq Argun, tt: 33).
Selain masjid Quba dan masjid Nabawi, tercatat masjid yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan masih banyak lagi. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah, yaitu berupa halaqah-halaqah.[1] Sistem ini selain menyentuh dimensi intelektual peserta didik juga menyentuh dimensi emosional dan spiritual mereka. Metode diskusi dan dialog kebanyakan dipakai dalam berbagai halaqah.
Dalam halaqah ini, murid yang lebih tinggi pengetahuannya duduk di dekat guru. Murid yang level pengetahuannya lebih rendah dengan sendirinya akan duduk lebih jauh, serta berjuang dengan keras agar dapat mengubah posisinya  dalam halaqah-nya, sebab dengan sendirinya posisi dalam halaqah menjadi sangat singnifikan. Meskipun tidak ada batasan resmi, sebuah halaqah biasanya terdiri dari sekitar 20 orang siswa (Samsul Nisar, 2007: 10).
Dikte (imla’) biasanya memainkan peranan pentingnya, tergantung kepada kajian dan topik bahasan. Uraian materi disesuaikan dengan kemampuan peserta halaqah. Menjelang akhir sesi, diadakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penyerapan materi beserta pemahamannya terhadap peserta didik. Terkadang pengajar menyempatkan diri untuk memeriksa catatan peserta didik, mengoreksi dan menambah seperlunya. Seorang peserta didik juga bisa masuk dari satu halaqah ke halaqah lainnya sesuai orientasi dan materi belajar yang ia ingin capai (Zainal Efendi Hasibuan, 2009: 10).
Rasulullah pun melakukan evalusi pengajaran, dengan cara mengevaluasi hafalan para shahabat, menyuruh para shahabat membacakan al Qur’an dihadapannya dan membetulkan hafalan dan bacaan yang keliru, dan setiap utusan yang akan dikirim oleh Rasulullah dicek dulu kemampuannya. Misalnya ketika akan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai qadli, Rasulullah menanyakan bagaimana ia memutuskan suatu perkara yang muncul ditengah-tengah umat. Mu’adz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengal al Qur’an, as Sunnah, dan jika tidak didapati di keduanya ia akan berijtihad. Maka Rasulullah pun tersenyum tanya menyetujui dan percaya akan kompetensi Mu’adz sebagai qadli di Yaman.[2]
Tidaklah heran jika masjid merupakan asas utama yang terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali melalui semangat masjid. Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya ikatan ukhuwwah dan mahabbah sesama kaum muslim, semangat persamaan dan keadilan sesama muslim, dan terpadunya beragam latar belakang kaum muslim dalam suatu kesatuan yang kokoh (Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, 2010: 187).
Di sebelah selatan masjid terdapat satu ruangan yang disebut al suffah, yakni tempat tinggal para sahabat miskin yang tidak memiliki rumah. Mereka yang tinggal di al suffah ini disebut ahl al suffah. Mereka adalah para penuntut ilmu. Di tempat inilah dilangsungkan proses pendidikan kepada mereka dan para sahabat lain. Dengan demikian, George Makdisi (1990: 4) menyebut masjid juga sebagai lembaga pendidikan Islam.

E. MASJID SEBAGAI TEMPAT PEMBINAAN DAN KADERISASI UMAT
Seperti sudah dijelaskan di muka, sebagai tempat pembinaan dan kaderisasi umat, masjid dapat difungsikan pada dua aspeknya, yaitu: Pertama, Tempat pembinaan dan kaderisasi jamaah; dan Kedua, Tempat pembinaan dan kaderisasi pengurus (ta’mir)-nya.

1. Pembinaan dan kaderisasi jama‘ah
Secara sederhana, jama‘ah masjid diartikan sebagai sekelompok orang yang menjadikan masjid sebagai ikatan jam‘iyyah-nya. Kata lainnya adalah kumpulan anggota dari suatu masjid. Pada dasarnya jama‘ah masjid bisa kita bagi menjadi dua kategori, yaitu: jama‘ah tetap dan jama‘ah tidak tetap (musiman).
Pembinaan jama‘ah masjid yang bisa dilakukan dalam hal ini:
a.  Pembinaan ketauhidan (aqidah).
Tauhid secara bahasa diambil kata wahhada yuwahhidu tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah swt. Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan.
Secara istilah, tauhid berarti mengesakan Allah SWT dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadatan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asma’ul Husna (Nama-nama yang Bagus) dan Shifat Al-Ulya (sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan cacat.
Tauhid sendiri adalah merupakan risalah atau ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan juga para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah SWT,
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya [21]: 25).
Mengingat pentingnya pemahaman seorang muslim terhadap tauhid, demikian pula jama‘ah masjid, perlu dibina ketauhidannya. I’tikad dan keyakinan tauhid ini mempunyai konsekuensi bagi jamah masjid dalam bersikap dan berpikir tauhid seperti ditampakkan pada:
Pertama, Tauhid dalam ‘ibadah dan do’a.  Yaitu tidak ada yang patut disembah kecuali hanya Allah dan tidak ada dzat yang pantas menerima dan memenuhi do’a kecuali hanya Allah. (QS. Al-Fatihah[1]: 5).
Kedua, Tauhid dalam mencari nafkah dan berekonomi.  Yaitu tidak ada dzat yang memberi rizki kecuali hanya Allah  (QS. Hud[11]: 6 ). Dan pemilik mutlak dari seluruh apa yang ada adalah Allah SWT (QS. Al-Baqarah[2]: 284),(QS. an-Nur[24], 33).
Ketiga, Tauhid dalam melaksanakan pendidikan dan da’wah.  Yaitu bahwa yang menjadikan seseorang itu baik atau buruk hanyalah Allah swt.  Dan hanya Allah swt yang mampu memberikan petunjuk kepada seseorang (QS. al-Qoshosh[28]: 56), (QS. an-Nahl[16]: 37).
Keempat, Tauhid dalam berpolitik.  Yaitu penguasa yang Maha Muthlaq hanyalah Allah swt. (QS. al-Maidah[5]: 18), (QS. al-Mulk[67]: 1). Dan seseorang hanya akan memperoleh sesuatu kekuasaan karena anugerah Allah semata-mata (QS. Ali-‘Imran[3]: 26). Dan kemulyaan serta kekuasaan hanyalah kepunyaan Allah SWT. (QS. Yunus[10]: 65).
Kelima, Tauhid dalam menjalankan hukum.  Bahwa hukum yang benar adalah hukum yang datang dari Allah SWT. Serta sumber kebenaran yang muthlaq adalah Allah swt. (QS. Yusuf [12]: 40 dan 67).
Keenam, Tauhid dalam sikap hidup secara keseluruhan, bahwa tidak ada yang patut ditakuti kecuali hanya Allah swt. (QS. at-Taubah[9]: 18), (QS. al-Baqarah[2]: 150).  Tidak ada yang patut dicintai kecuali hanya Allah SWT (dalam arti yang absolut ) (QS. at-Taubah[9]: 24).  Tidak ada yang dapat menghilangkan kemudharatan kecuali hanya Allah SWT. (QS. Yunus[10]: 107).  Tidak ada yang memberikan karunia kecuali hanya Allah SWT. (QS. Ali-‘Imran[3]: 73).  Bahkan yang menentukan hidup dan mati seseorang hanyalah Allah swt. (QS. Ali-‘Imran[3]: 145).
Ketujuh, Sampai pada ucapan sehari-hari yang senantiasa dikembalikan kepada Allah SWT seperti :  Mengawali pekerjaan yang baik dengan Bismillah yang bermakna atas nama Allah.  Mengakhiri pekerjaan dengan sukses membaca Alhamdulillah yang bermakna segala puji bagi Allah.  Berjanji dengan ucapan Insya Allah yang bermakna kalau Allah swt menghendaki.  Bersumpah dengan Wallahi, Bilahi, Tallahi yang bermakna demi Allah SWT.  Menghadapi sesuatu kegagalan dengan Masya Allah yang bermakna semua berjalan atas kehendak Allah swt.  Mendengar berita orang yang meninggal dunia dengan mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un yang bermakna kami semua milik Allah SWT dan kami semua akan kembali kepada Allah SWT.  Memohon perlindungan dari sesuatu keadaan yang tidak baik dengan ucapan A’udzu bIlahi mindzalik yang bermakna aku berlindung kepada Allah SWT dari keadaan demikian, Mengagumi sesuatu dengan ucapan Subhanallah yang bermakna Maha Suci Allah  SWT. Terlanjur berbuat khilaf dengan ucapan, Astaghfirullah yang bermakna aku mohon ampun kepada Allah SWT dan lain-lain.
Kedelapan, Berhindar dari kepercayaan-kepercayaan, serta sikap-sikap yang dapat mengganggu jiwa dan ruh tauhid seperti:  Mempercayai adanya azimat, takhyul, meminta-minta kepada selain Allah SWT, mengkultuskan sesuatu selain Allah SWT, melakukan tasybih, musyabihah (antropomorfisme) yaitu menganggap Allah SWT ber-jisim dan lain-lain.
b. Pembinaan kualitas ibadah
Dapat kita mafhumi di sini bahwa tugas manusia di dunia adalah ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya:
 Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Adz Dzariyat [51]: 56).
 Meskipun merupakan tugas, tetapi pelaksanaan ibadah bukan untuk Allah (QS Adz Dzariyat [51]: 56), karena Allah tidak memerlukan apa-apa. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan keutamaan manusia itu sendiri. Ibadah (‘abada: menyembah, mengabdi) merupakan bentuk penghambaan manusia sebagai makhluk kepada Allah SWT Sang Pencipta. Karena penyembahan/ pemujaan merupakan fithrah (naluri) manusia, maka ibadah kepada Allah membebaskan manusia dari pemujaan dan pemujaan yang salah dan sesat.
Dengan demikian, pembinaan kualitas ibadah adalah penyempurnaan dari pembinaan tauhid. Maka seorang jama‘ah masjid sudah seharusnya mendapatkan pembinaan secara terus-menerus dalam hal ibadah, dengan tujuan peningkatan kualitas ibadah para jama‘ah masjid.
c. Pembinaan akhlaqul karimah
Pembinaan akhlaqul karimah bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain.
Agama Islam erat kaitannya dengan pembinaan akhlak. Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembinaan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh ajaran agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh ajaran agama. Sehingga keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama, sehingga seorang muslim tidak sempurna agamanya sampai akhlaknya menjadi baik (http://udrapaliang.wordpress.com/2010/03/23/pembinaan-akhlak-al-karimah/).
Dengan berangkat dari alasan inilah, para jama‘ah masjid perlu mendapatkan pembinaan secara terus menerus, terutama dalam kaitannya dengan usaha meningkatkan kualitas akhlaqul karimah para jama‘ah masjid tersebut.
d. Pembinaan baca tulis Al Qur‘an
Pembinaan baca-tulis Al-Qur‘an kepada para jama‘ah masjid perlu dilakukan secara berkala, mengingat Al Qur‘an adalah petunjuk dan pedoman hidup bagi umat Islam. Al Qur‘an adalah sumber hukum pertama dan utama bagi umat Islam.
Pembinaan baca-tulis Al-Qur‘an ini bisa dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti kursus baca-tulis Al Qur‘an, dan semacamnya. Tentu saja orang-orang yang memberikan pembinaan baca tulis Al-Qur‘an adalah orang-orang yang berpengalaman di bidangnya, sehingga para jama‘ah masjid betul-betul bisa merasakan manfaatnya.
Dengan adanya pembinaan baca tulis Al-Qur‘an ini, diharapkan para jama‘ah masjid mengakrabi Al-Qur‘an, membiasakan diri mengisi waktu luang dengan membaca Al-Qur‘an, dan juga terus-menerus termotivasi untuk menggali dan mengkaji isi kandungan Al-Qur‘an.
e. Latihan Keterampilan
Pelatihan keterampilan dalam hal ini bisa dalam bentuk apa saja, yang biasanya ditujukan untuk kepentingan ekonomi para jama‘ah masjid. Kursus-kursu membuat kue, membuat kerajinan tangan dari rotan, membuat kaligrafi, dan macam-macam keterampilan lain bisa diberikan kepada para jama‘ah masjid dengan memanfaatkan masjid sebagai tempat di mana kursus-kursus demikian bisa diberikan.
Di sinilah sesungguhnya fungsi masjid yang lain, yaitu fungsi ekonomi – mengutip pendapatnya Sidi Gazalba (1994: 187), di mana menuntun pemikiran dan cita umat islam dalam melakukan kegiatan dan tindakan ekonomi.
Hasil karya keterampilan para jama‘ah masjid tersebut bisa dijual untuk tujuan-tujuan ekonomis.
 f. Pembelajaran seni budaya Islam
Ketika mendengar kata seni, apa yang terbesik dalam pikiran seseorang? Sebuah puisi? Lukisan? Nyanyian? Pementasan?. Apapun itu, penulis yakin jawabannya tidak jauh dari kata keindahan. Dalam ensiklopedi Indonesia dikatakan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar, indera penglihat, atau dilahirkan dengan perantaraan gerak.
Sudah menjadi fitrah, bahwa manusia menyukai keindahan. Seseorang akan senang ketika melihat hamparan sawah yang menghijau dengan panorama khas pedesaan. Mengapa demikian, karena itu merupakan bentuk keindahan. Demikian juga halnya dengan nyanyian, puisi, yang juga melambangkan keindahan. Manusia akan menyukainya.
Salah satu mukjizat Al Qur‘an, misalnya, adalah bahasanya yang sangat indah, sehingga Abdul Walid, sastrawan terbaik Arab yang diutus pemimpin Quraisy untuk menantang keindahan Al Qur‘an, langsung mengakui keindahan Al Qur‘an tak tertandingi. Dalam membaca Al Qur‘an pun kita dituntut ntuk menggabungkan keindahan suara dengan ketepatan bacaan tajwidnya. Rasulullah SAW bersabda: “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu”. “Innallaha Jamil Wa Yuhibbul Jamal” (Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan), kata Rasulullah SAW. Manusia menyukai keindahan karena efek dari keindahan Allah SWT. Al Jamiil (Yang Maha Indah) pun merupakan salah satu dari nama-nama Allah SWT.
Islam menyeru umatnya untuk bisa merasakan, menikmati serta mentadaburi keindahan. Maka dari itu tidak ada larangan bagi umat islam untuk mengekspresikan keindahan yang ada dalam benak mereka. Dalam hal ini tentunya Islam sebagai suatu agama yang syamil memberikan panduan agar kreativitas yang dihasilakan umatnya bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan umat manusia. Tidak dibiarkan sembarangan tanpa arah yang akhirnya menimbulkan mudharat (http://kangridwan.wordpress.com/2011/06/10/islam-dan-seni/).
Hal inilah yang mendasari pentingnya memberikan pembinaan seni dan budaya para jama‘ah masjid, untuk memenuhi kebutuhan para jama‘ah masjid akan hal tersebut. Pembinaan seni dan budaya ini mempunyai nilai penting terutama mengingat Islam sebagai agama, dalam sejarahnya juga berkembang, melalui sarana seni dan budaya ini.
g. Penguatan ukhuwah Islamiyah
Salah satu prinsip besar yang dibangun oleh agama kita ialah prinsip ukhuwwah (persaudaraan) di antara sesama orang beriman, atau yang sering kita sebut dengan ukhuwah Islamiyah. “Dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS. Al-Anfal [08]: 1).
Jika hubungan persaudaraan yang ada di antara manusia sangat beraneka ragam menurut macam-macam tujuan dan maksudnya, maka hubungan persaudaraan yang paling kokoh talinya, paling mantap jalinannya, paling kuat ikatannya, dan paling setia kasih sayangnya ialah persaudaraan berdasarkan agama. Karena, persaudaraan semacam ini tidak putus talinya, tidak akan berubah karena perubahan zaman, dan tidak akan berbeda karena perbedaan orang dan tempat. Persaudaraan yang berlandaskan akidah dan iman, serta berdasarkan agama yang murni karena Rabb Yang Mahaesa senantiasa mampu mempersatukan umat Islam dari berbagai penjuru. Inilah rahasia kekuatan dan kekokohannya. Inilah kunci keakraban para personelnya yang ada di belahan bumi bagian timur maupun barat. Dan inilah yang membuat mereka menjadi satu kesatuan yang pilar-pilarnya sangat kuat dan bangunannya sangat kokoh. Sehingga, badai topan pun tidak sanggup menggoyahkannya. Ia laksana bangunan yang dibangun dengan timah dan ibarat tubuh yang satu.
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin (lainnya) bagaikan bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.” (HR Bukhari dan Muslim). “Dan beliau pun menyilangkan jari-jemarinya,” kata Abu Musa.
Ukhuwwah Islamiyah adalah ruh dari iman yang kuat dan inti dari perasaan yang meluap-luap yang dirasakan oleh seorang muslim terhadap saudara-saudaranya yang seakidah. Bahkan, ia merasa bahwa ia bisa hidup karena mereka, bersama mereka dan di tengah-tengah mereka. Mengingat pentingnya ukhuwah Islamiyah bagi umat Islam, para jamaah masjid perlu terus menerus diberikan pembinaan terutama dalam kaitannya dengan ukhuwah Islamiyah tersebut.
Dengan demikian, ikatan sosial sesama jama‘ah masjid pada khususnya dan umat Islam pada umumnya bisa terjalin erat.
Selain pembinaan jama‘ah masjid di atas, kaderisasi jama‘ah juga penting untuk dilakukan, untuk tujuan “memakmurkan masjid”.

2.     Pembinaan dan kaderisasi pengurus
Menurut kebiasaan masyarakat kita bahwa setiap pengurus masjid adalah orang yang sudah terseleksi kredibilitasnya dan oleh karena itu ia dijadikan panutan. Karena itu, dalam hal ini, pembinaan pengurus masjid bisa diarahkan pada dua kegiatan: Pertama, Pembinaan masjid/ tata kelola organisasi kemasjidan (idarah); dan Kedua, Pembinaan manajemen pemakmuran masjid (imarah). Sementara kaderisasi pengurus masjid diarahkan untuk menyiapkan proses pergantian pengurus secara profesional dan proporsional.
Baik pembinaan maupun kaderisasi jama‘ah atau pengurus sengaja diarahkan supaya terbentuk kader umat yang memiliki militansi keislaman yang tinggi, di antaranya seperti yang disebutkan dalam Al Qur‘an, yaitu orang-orang yang memakmurkan masjid):
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (QS At Taubah [09]: 18).
Karena itu juga, yang perlu diperhatikan dalam membangun masjid adalah bagaimana memakmurkannya. Jangan sampai masjid dibangun dengan megah tapi hanya sedikit orang memakmurkan dan mengisi masjid untuk ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
Sungguh akan datang pada umatku suatu masa dimana mereka saling bermegah-megahan dengan membangun beberapa masjid tapi yang memakmurkannya hanya sedikit (H.R. Abu Dawud).
Memakmurkan masjid (ta’mirul masjid) berarti memelihara, meramaikan dan menghidupkan suasana masjid, menjadi satu kesatuan. Tidak dapat dikatakan masjid itu makmur kalau masjid tidak terpelihara kebersihan dan keindahannya atau jarang dikunjungi atau tidak ada kegiatan bermasyarakat di dalamnya.
Pemeliharaan masjid meliputi mencegah kerusakan dan mengadakan perbaikan serta menjaga kebersihan  keindahannya. Kemudian mesti diperhatikan imarah dengan cara meramaikan dengan kegiatan keagamaan, taushiyah, diskusi dan dialog keislaman, membaca Al Qur’an, dan melaksanakan shalat secara berjama’ah.

F. PENUTUP
Fungsi masjid jangan dibatasi hanya sebagai tempat shalat saja, mengingat fungsi masjid dalam sejarahnya sesungguhnya jauh lebih luas, dari sekedar tempat melakukan ibadah shalat.  Semua tempat di jagad raya ciptaan Allah ini adalah tempat bagi kita untuk sujud.
Menurut sejarahnya, selain tempat ibadah ritual (shalat dan baca Al Qur‘an), masjid juga mempunyai fungsi sosial, di antaranya: Pertama, Tempat pertemuan Umat Islam; Kedua, Pusat dakwah dan pendidikan rohani; Ketiga, Tempat pembinaan remaja muslim; Empat, Tempat musyawarah; Lima, Tempat konsultasi dan komunikasi (ekonomi); Enam, Tempat santunan dan kegiatan sosial budaya; Tujuh, Madrasah ilmu; Delapan, Tempat bermula gerakan taushiyah dan amar ma’ruf nahi mungkar; Sembilan, Tempat latihan jasmani mengatur siasat usaha; Sepuluh, Tempat pengobatan; Sebelas, Tempat perlindungan yang aman; Dua belas, Aula tempat menerima tamu dan persinggahan musafir.
Banyak masjid yang dibangun dengan biaya, tenaga dan waktu yang tidak sedikit, bahkan terkadang mengabaikan rasa malu untuk mendapatkan bantuan membangun satu masjid. Itu sebabnya nilai masjid menjadi tinggi secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan sosial. Masjid yang hanya menjadi tempat “parkir” shalat adalah masjid yang terabaikan dari nilai-nilai falsafahnya, dan sangat berat untuk dipertanggungjawabkan secara moral maupun sosial.
Di sinilah letak pentingnya masjid sebagai tempat pembinaan dan kaderisasi umat, supaya fungsi masjid tidak terbatasi pengetiannya sebagai tempat melakukan ibadah shalat saja, tapi juga mempunyai fungsi sosial bagi umat Islam. Di antara cara yang perlu dilakukan untuk tujuan ini adalah dengan memberikan pembinaan secara terus-menerus, terutama pada jama‘ah dan pengurus masjid. Di samping itu kaderisasi jama‘ah maupun pengurus perlu dilakukan secara kontinyu.***

DAFTAR PUSTAKA
 DEPAG RI, 1989. Al Qur‘an dan Terjemahan. Semarang: Toha Putra.
 George Makdisi, 2010. Religion, Law and Learning Classical Islam. Viriorum: Philadelpa.
 http://hmasoed.wordpress.com/2011/01/10/mesjid-sebagai-pusat-pembinaan-ummat/
 http://kangridwan.wordpress.com/2011/06/10/islam-dan-seni/
 http://udrapaliang.wordpress.com/2010/03/23/pembinaan-akhlak-al-karimah/
 http://www.jprmi.or.id/tentang-kami/sejarah/item/84-optimalisasi-peran-masjid?tmpl=component&print=1
 Khalid Muhammad Khalid, 2000. 60 Sahabat Rasulullah. Terjemahan M. Arfi Hatim dari judul asli Men Around The Messenger. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
 Moh. Haitami Salim dan Erwin Mahrus, 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
 Muhammad Munir Mursyi, 1982. Al Tarbiyah Al Islamiyah. Dar al Kutb: Kairo.
 Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, 2010. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah Saw. Jakarta: Rabbani Press.
 Muhammad al Shadiq Argun, tt. Rasulullah Saw. (terj.) Beirut: Dar al Qalam.
 M. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al Qur’an. Bandung: Mizan.
Poerwanto, dkk. 1991. Seluk-beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Samsul Nisar, 2007. Sejarah Pendidikan Islam (Menelusuri jejak sejarah pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia). Jakarta: Kencana.
 Sidi Gazalba, 1994. Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna.
 Zainal Efendi Hasibuan, 2009. Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal: Telaah Pola Pendidikan Islam Era Rasulullah Fase Mekkah dan Madinah dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar