Oleh: Dr. H. Moh. Haitami Salim, M.Ag
A. PENDAHULUAN
Dalam pengertian sehari-hari, masjid dikenal sebagai
rumah ibadah umat Islam. Selain masjid, rumah ibadah yang umat Islam yang
mempunyai fungsi sama dengan masjid yaitu: mushalla, surau, dan langgar. Namun
pada dasarnya, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih luas daripada ini (yaitu
shalat).
Berdasarkan arsitekturnya, seni bentuk bangunannya,
masjid ternyata juga mengadung fungsi seni. Masjid di tiap negara dan daerah
ternyata memiliki ragam corak, mulai yang sederhana sampai bentuk moderen
bahkan menggambarkan kekhasan masing-masing tempat di mana masjid itu
didirikan. Sejarah dan bentuk bangunan masjid sering dijadikan sebagai ukuran
peradaban (tingkat kebudayaan) umatnya pada masa itu, sehingga banyak masjid
yang dijadikan situs kebudayaan sekaligus tempat kunjungan wisata bahkan bagi
sebagian orang sebagai “tempat keramat”.
Seiring perkembangan zaman dan semakin banyaknya
bangunan yang dibuat, fungsi masjid semakin berkurang dan kegiatan tertentu
berpindah tempat dari masjid ke bangunan lainnya. Faktanya, upaya membangun
masjid tak pernah berhenti, baik membangun baru atau sekedar merenovasi yang
sudah ada.
Selain fungsi-fungsi di atas, masjid yang dikenal
sebagai tempat ibadah ritual (mahdhah) ternyata dalam sejarahnya juga
difungsikan untuk berbagai aktivitas umum yang menyangkut kepentingan jamaah.
Di antara fungsi penting masjid dalam soal ini adalah sebagai tempat pembinaan
dan kaderisasi umat. Sebagai tempat pembinaan dan kaderisasi umat, masjid dapat
difungsikan pada dua aspeknya, yaitu: Pertama, Tempat pembinaan dan
kaderisasi jamaah; dan Kedua, Tempat pembinaan dan kaderisasi pengurus (ta’mir)-nya.
Pemanfaatan fungsi masjid secara maksimal diharapkan bisa mengurangi beban
sosial dan ekonomi umat.
B. MEMAHAMI MAKNA MASJID
Apabila seseorang bertanya, “Apakah masjid itu?”,
umumnya jawaban yang diperoleh: “Masjid adalah tempat shalat, terutama shalat
Jum‘at.” Dilihat dari satu segi jawaban itu benar, tapi apabila dilihat dari
segi makna pengertian masjid yang sesungguhnya jauh lebih luas.
Menurut bahasa (etimology), kata masjid berasal
dari kata Arab dengan akar kata sajada, yasjudu, masjidan
(isim makan); yang berarti tempat sujud. Dari arti kata itu melahirkan
dua makna terminologi, secara formal dan substansial. Secara formal masjid
dimaknai sebagai “bangunan” rumah ibadah umat Islam yang memiliki bentuk
tertentu. Sedangkan secara substansial, adalah tempat di mana kita menunjukkan
ketundukan kita kepada Allah yang tidak dibatasi oleh dinding, lantai dan atap.
Makna ini memberikan semangat bahwa setiap jengkal bumi Allah adalah masjid.
Sidi Gazalba (1994: 118-119) berpendapat, sujud adalah
pengakuan ibadah, yaitu pernyataan pengabdian lahir yang dalam sekali. Setelah
iman dimiliki jiwa, maka lidah mengucapkan ikrar keyakinan sebagai pernyataan
dari milik ruhaniah itu. Setelah lidah menyatakan kata keyakinan, jasmani
menyatakan gerak keyakinan dengan sujud (dalam shalat). Sujud memberikan makna bahwa
apa yang diucapkan oleh lidah bukanlah kata-kata kosong belaka. Kesaksian atau
pengakuan lidah diakui oleh seluruh jasmani manusia dalam bentuk gerak lahir,
menyambung gerak batin yang mengakui dan meyakini iman. Hanya kepada Tuhanlah
satu-satunya muslim sujud, dan tidak kepada yang lain, tidak kepada satupun
dalam alam ini.
Waktu Rabi‘ah bin Ka‘ab meminta kepada Nabi, “Saya
minta supaya menemani tuan dalam surga”. Menjawablah Nabi: “Adakah lagi
permintaanmu?.” Waktu Rabi‘ah menjawab: “Hanya itu saja”, bersabdalah
Rasulullah: “Jika demikian, tolonglah aku untuk dirimu sendiri dengan
memperbanyak sujud!.” Kesimpulan dari hadits ini adalah, orang yang
memperbanyak sujud masuk surga. Siapakah isi surga itu? Mereka adalah
muslim sejati. Jadi muslim sejati melakukan banyak sujud. Karena itulah seluruh
jagad adalah masjid bagi muslim. Jadi seluruh bumi adalah tempat sujud kepada
Tuhan. Ini berarti seluruh bumi adalah tempat untuk memperhamba diri pada
Tuhan.
Sujud dalam pengertian lahir bersifat gerak jasmani,
sedangkan dalam pengertian batin berarti pengabdian (Sidi Gazalba, 1994: 119).
Maka, dalam kewajiban menyembah Tuhan, muslim tidak terikat oleh ruang. Di
rumah, di kantor, di sawah, di hutan, di gunung, di kendaraan, di pinggir
jalan, di manapun juga, adalah masjid bagi muslim.
Rasulullah SAW biasa shalat di mana saja apabila
waktunya sudah datang waktu shalat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW.
bersabda: “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid
dan sarana penyucian diri” (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin
Abdullah).
Dengan demikian, masjid sebagai tempat shalat adalah
fungsi kedua dari masjid, karena seperti yang diuraikan di atas, di luar masjid
shalat juga bisa dilakukan. Dari segi makna pengertian masjid yang sesungguhnya
jauh lebih luas, daripada sekedar tempat shalat.
C. FUNGSI MASJID DALAM LINTASAN SEJARAH
Menarasikan tentang historis masjid maka tidak bisa
lepas dari satu momentum strategis yang mengawalinya yaitu peristiwa hijrah
yang dilakukan oleh Nabi beserta para sahabat. Peristiwa ini sendiri mempunyai
makna strategis dan taktis dalam perjuangan menegakkan keislaman. Oleh sebab
itu maka sesungguhnya masjid yang dibangun kala itu adalah juga merupakan
bagian dari pilihan strategi yang dibuat oleh Nabi untuk pemenangan terhadap
Islam itu sendiri, selain tentunya sebagai tempat yang mewadahi ibadah shalat
yang dikerjakan.
Peristiwa pendirian masjid yang pertama memberikan
kepada kita makna apa yang sesungguhnya dikandung oleh masjid. Setelah
kira-kira 12 tahun menjalankan tugas kerasulan di Makkah, Allah SWT menyuruh
Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah). Dalam sejarah tercatat, ketika
Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah), setibanya beliau di
Quba’ pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 nubuwwah atau tahun
pertama hijrah, bertepatan tanggal 23 September 662 M langkah
pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid.
Masjid Quba’ adalah masjid pertama yang dibangun oleh
Rasulullah SAW (lihat M. Quraish Shihab, 1996). Beliau berada di Quba’ (6 km
sebelum memasuki kota Madinah) selama empat hari, yaitu hari Senin, Selasa,
Rabu dan Kamis. Pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal, beliau berangkat
menuju Madinah. Setelah beberapa hari di Madinah beliaupun mendirikan Masjid
Madinah. Masjid itu merupakan ruang berdinding batu bata, bertiang batang kurma
dan beratap pelepah kurma, sebagian dibiarkan terbuka. Di sampingnya digunakan
sebagai tempat tinggal Nabi dan keluarga suffah yang tak punya rumah.
Pada awalnya tak ada penerangan pada malam hari selain dan cahaya dari jerami
yang dibakar pada waktu shalat Isya’. Selanjutnya baru digunakan lampu-lampu
yang dipasang pada tiang-tiang batang kurma.
Satu yang dapat disimpulkan adalah bahwa Nabi Muhammad
SAW memberikan arti penting bagi pembangunan masjid. Bukan rumah kediaman
beliau yang didahulukan dibangun, bukan juga sebuah benteng pertahanan untuk
menghadapi kemungkinan serangan dari Makkah. Bagi Nabi Muhammad SAW masjid
dianggap lebih penting daripada semua itu .
Masjid menjadi bagian utama dalam pembinaan umat dan
masyarakat selanjutnya. Ini menunjukkan bahwa masjid menduduki tempat sangat
penting dalam rangka membina pribadi dan masyarakat guna membantu pribadi dan
masyarakat yang Islami (lihat http://hmasoed.wordpress.com/2011/01/10/mesjid-sebagai-pusat-pembinaan-ummat/).
Pada masa Rasulullah SAW demikian pula pada masa
Khulafa al-Rasyidin, masjid berfungsi ganda. Selain tempat ibadah ritual
(shalat dan baca Al Qur‘an), masjid juga mempunyai fungsi sosial, di antaranya:
Pertama, Tempat pertemuan Umat Islam; Kedua, Pusat dakwah dan
pendidikan rohani; Ketiga, Tempat pembinaan remaja muslim; Empat,
Tempat musyawarah; Lima, Tempat konsultasi dan komunikasi (ekonomi); Enam,
Tempat santunan dan kegiatan sosial budaya; Tujuh, Madrasah ilmu; Delapan,
Tempat bermula gerakan taushiyah dan amar ma’ruf nahi mungkar; Sembilan,
Tempat latihan jasmani mengatur siasat usaha; Sepuluh, Tempat
pengobatan; Sebelas, Tempat perlindungan yang aman; Dua belas, Aula
tempat menerima tamu dan persinggahan musafir.
Agaknya masjid pada masa ini mampu berperan sedemian
luas, disebabkan antara lain oleh: Pertama, Masyarakat masih sangat
berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama; Kedua, Kemampuan
pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan keperluan masyarakat
dengan kegiatan masjid; Ketiga, Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam
masjid, baik pada peribadi-peribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/
khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat kegiatan
syura pemerintahan; Keempat, Masjid berfungsi sebagai pembinaan umat, memiliki
sarana yang tepat manfaat, menarik dan menyenangkan semua umat, baik
dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak,
sehat atau sakit, serta kaya dan miskin (lihat
http://hmasoed.wordpress.com/2011/01/10/mesjid-sebagai-pusat-pembinaan-ummat/).
Namun demikian, pada masa setelah Khulafa al-Rasyidin,
kegiatan tertentu sudah dilaksanakan di bangunan, sehingga masjid pun semakin
terbatas fungsinya. Di sisi lain, bangunan masjid semakin mengalami perubahan,
baik jumlah, bentuk arsitekturnya maupun luasannya. Sejak itulah masjid
mengalami perkembangan yang berlawanan arah. Secara fisik (bentuk, jumlah dan
luasan) bertambah, namun pemanfaatannya semakin terbatas. “Kaya fisik, miskin
fungsi.” Dalam pengertian lain, masjid pada saat sekarang ini, menjadi
investasi umat yang sangat mahal, tetapi belum bermanfaat secara maksimal.
Fakta penting yang terjadi adalah masjid dibangun
sedemikian banyak, namun belum mampu menghantarkan masyarakat Indonesia seperti
para sahabat Rasulullah. Tercatat menurut rekapitulasi Masjid dan Mushola di
DKI Jakarta, jumlah masjid yang berada di wilayah DKI sebanyak 2831 Masjid dan
5661 Mushola. Sedangkan di Indonesia, menurut Dr H Ahmad Sutarmadi dalam
wawancara dengan harian Republika, diperkirakan 700 ribu Masjid berdiri yang
merupakan terbesar di Dunia . Masjid menjadi bangunan-bangunan megah tapi sepi
dari ruh umat, kosong dan hanya untuk kegiatan-kegiatan ibadah ma’dhoh saja.
Bahkan beberapa masjid ramai hanya untuk resepsi pernikahan dan mengalahkan
kegiatan pengajian hanya karena menggangu pemandangan tamu undangan (lihat http://www.jprmi.or.id/tentang-kami/sejarah/item/84-optimalisasi-peran-masjid?tmpl=component&print=1).
D. FALSAFAH MENARA MASJID
Menurut Al Farabi, kata falfah atau filsafat itu
diadopsi dari Bahasa Yunani yang masuk dan dipergunakan sebagai bahasa Arab,
yaitu berasal dari kata philosophia. Philo berarti cinta dan sophia
berarti hikmah. Dan oleh karena itu philosophia berarti cinta hikmah
atau cinta kebenaran (Poerwanto, dkk., 1991: 1).
Selanjutnya Pudjawijatna seperti dikutip Moh. Haitami
Salim dan Erwin Mahrus (2006: 2) menerangkan lebih jauh arti dua kata tersebut
sebagai berikut: Filo artinya cinta dalam arti seluas-luasnya, yaitu
ingin; dan karena ingin itu berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan itu. Sofia
artinya “kebijaksanaan”. Bijaksana itupun kata asing, dan artinya “pandai
mengerti dengan mendalam.” Jadi menurut namanya saja, “filsafat” boleh
dimaknakan “ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan”.
Pada bagian ini sengaja penulis paparkan tentang
pemikiran penulis, bahwa bangunan masjid tidak sekedar bangunan fisik yang tak
ada nilainya sama sekali, tapi mengandung nilai-nilai filosofis (falsafah) yang
mendalam.
Pada umumnya setiap bangunan masjid (bagaimanapun
bentuk arsitekturnya) memiliki menara yang selalu lebih tinggi dari bangunan
utamanya. Kehadiran menara bukan sekedar melengkapi bangunan utama dalam fungsi
arsitektur, tetapi memiliki simbol yang kaya dengan nilai-nilai falsafahnya.
Nilai-nilai falsafah inilah yang seharusnya menjadi
semangat sekaligus dasar pembinaan dan kaderisasi umat, khususnya untuk jamaah
dan pengurus masjidnya. Di antara nilai-nilai falsafah menara masjid itu memberikan
fungsi sebagai berikut: Pertama, Pusat pengiriman sinyal getaran asma
Allah, penyampaian pesan-pesan amar ma’ruf dan nahi munkar; Kedua,
Pusat data jamaah dan masyarakatnya; Ketiga, Pusat pembelajaran dan
pengembangan wawasan; Keempat, Pusat pemberdayaan ekonomi dan
kesejahteraan; dan Kelima, Pusat pertahanan umat.
E. MASJID SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM
Dari uraian di atas, penulis hendak mengambil salah
satu contoh yang ingin dibahas pada bagian ini, yaitu fungsi masjid sebagai “pusat
dan pengembangan wawasan.”
Masa-masa awal perkembangan Islam bisa kita teladani
dalam soal ini, di mana masjid menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam.
Sebagai pusat pendidikan di masjid diadakan tempat belajar (halaqah ta’lim)
(lihat Muhammad Munir Mursyi, 1982: 199).
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Rasulullah SAW
benar-benar mengoptimalkan fungsi masjid dalam membangun masyarakat Islam
(yaitu di Madinah) menuju peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini.
Di dalam masjid ini, Rasulullah mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah,
di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan
tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari (Muhammad al
Shadiq Argun, tt: 33).
Selain masjid Quba dan masjid Nabawi, tercatat masjid
yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi,
Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan masih banyak lagi. Sistem
pendidikan yang diterapkan adalah sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah, yaitu
berupa halaqah-halaqah.[1] Sistem ini selain menyentuh dimensi
intelektual peserta didik juga menyentuh dimensi emosional dan spiritual
mereka. Metode diskusi dan dialog kebanyakan dipakai dalam berbagai halaqah.
Dalam halaqah ini, murid yang lebih tinggi
pengetahuannya duduk di dekat guru. Murid yang level pengetahuannya lebih
rendah dengan sendirinya akan duduk lebih jauh, serta berjuang dengan keras
agar dapat mengubah posisinya dalam halaqah-nya, sebab dengan
sendirinya posisi dalam halaqah menjadi sangat singnifikan. Meskipun tidak
ada batasan resmi, sebuah halaqah biasanya terdiri dari sekitar 20 orang
siswa (Samsul Nisar, 2007: 10).
Dikte (imla’) biasanya memainkan peranan
pentingnya, tergantung kepada kajian dan topik bahasan. Uraian materi
disesuaikan dengan kemampuan peserta halaqah. Menjelang akhir sesi,
diadakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penyerapan materi beserta
pemahamannya terhadap peserta didik. Terkadang pengajar menyempatkan diri untuk
memeriksa catatan peserta didik, mengoreksi dan menambah seperlunya. Seorang
peserta didik juga bisa masuk dari satu halaqah ke halaqah
lainnya sesuai orientasi dan materi belajar yang ia ingin capai (Zainal Efendi
Hasibuan, 2009: 10).
Rasulullah pun melakukan evalusi pengajaran, dengan
cara mengevaluasi hafalan para shahabat, menyuruh para shahabat membacakan al
Qur’an dihadapannya dan membetulkan hafalan dan bacaan yang keliru, dan setiap
utusan yang akan dikirim oleh Rasulullah dicek dulu kemampuannya. Misalnya
ketika akan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai qadli, Rasulullah
menanyakan bagaimana ia memutuskan suatu perkara yang muncul ditengah-tengah
umat. Mu’adz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengal al Qur’an, as
Sunnah, dan jika tidak didapati di keduanya ia akan berijtihad. Maka
Rasulullah pun tersenyum tanya menyetujui dan percaya akan kompetensi Mu’adz
sebagai qadli di Yaman.[2]
Tidaklah heran jika masjid merupakan asas utama yang
terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam karena masyarakat muslim tidak
akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap
sistem, akidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali
melalui semangat masjid. Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya ikatan ukhuwwah
dan mahabbah sesama kaum muslim, semangat persamaan dan keadilan sesama
muslim, dan terpadunya beragam latar belakang kaum muslim dalam suatu kesatuan
yang kokoh (Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, 2010: 187).
Di sebelah selatan masjid terdapat satu ruangan yang
disebut al suffah, yakni tempat tinggal para sahabat miskin yang tidak
memiliki rumah. Mereka yang tinggal di al suffah ini disebut ahl al
suffah. Mereka adalah para penuntut ilmu. Di tempat inilah dilangsungkan
proses pendidikan kepada mereka dan para sahabat lain. Dengan demikian, George
Makdisi (1990: 4) menyebut masjid juga sebagai lembaga pendidikan Islam.
E. MASJID SEBAGAI TEMPAT PEMBINAAN DAN KADERISASI UMAT
Seperti sudah dijelaskan di muka, sebagai tempat
pembinaan dan kaderisasi umat, masjid dapat difungsikan pada dua aspeknya,
yaitu: Pertama, Tempat pembinaan dan kaderisasi jamaah; dan Kedua,
Tempat pembinaan dan kaderisasi pengurus (ta’mir)-nya.
1. Pembinaan dan kaderisasi jama‘ah
Secara sederhana, jama‘ah masjid diartikan sebagai
sekelompok orang yang menjadikan masjid sebagai ikatan jam‘iyyah-nya.
Kata lainnya adalah kumpulan anggota dari suatu masjid. Pada dasarnya jama‘ah
masjid bisa kita bagi menjadi dua kategori, yaitu: jama‘ah tetap dan jama‘ah
tidak tetap (musiman).
Pembinaan jama‘ah masjid yang bisa dilakukan dalam hal
ini:
a. Pembinaan ketauhidan (aqidah).
Tauhid secara bahasa diambil kata wahhada yuwahhidu
tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid
yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid
itu berarti keyakinan akan keesaan Allah swt. Tauhid merupakan inti dan dasar
dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal
sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan.
Secara istilah, tauhid berarti mengesakan Allah SWT
dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan)
peribadatan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta
menetapkan Asma’ul Husna (Nama-nama yang Bagus) dan Shifat Al-Ulya
(sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan
cacat.
Tauhid sendiri adalah merupakan risalah atau ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan juga para Nabi dan Rasul sebelum Nabi
Muhammad SAW diutus oleh Allah. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah SWT,
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya [21]: 25).
Mengingat pentingnya pemahaman seorang muslim terhadap
tauhid, demikian pula jama‘ah masjid, perlu dibina ketauhidannya. I’tikad dan
keyakinan tauhid ini mempunyai konsekuensi bagi jamah masjid dalam bersikap dan
berpikir tauhid seperti ditampakkan pada:
Pertama, Tauhid dalam ‘ibadah dan do’a. Yaitu tidak ada
yang patut disembah kecuali hanya Allah dan tidak ada dzat yang pantas menerima
dan memenuhi do’a kecuali hanya Allah. (QS. Al-Fatihah[1]: 5).
Kedua, Tauhid dalam mencari nafkah dan berekonomi.
Yaitu tidak ada dzat yang memberi rizki kecuali hanya Allah (QS. Hud[11]:
6 ). Dan pemilik mutlak dari seluruh apa yang ada adalah Allah SWT (QS.
Al-Baqarah[2]: 284),(QS. an-Nur[24], 33).
Ketiga, Tauhid dalam melaksanakan pendidikan dan
da’wah. Yaitu bahwa yang menjadikan seseorang itu baik atau buruk
hanyalah Allah swt. Dan hanya Allah swt yang mampu memberikan petunjuk
kepada seseorang (QS. al-Qoshosh[28]: 56), (QS. an-Nahl[16]: 37).
Keempat, Tauhid dalam berpolitik. Yaitu penguasa yang
Maha Muthlaq hanyalah Allah swt. (QS. al-Maidah[5]: 18), (QS. al-Mulk[67]: 1).
Dan seseorang hanya akan memperoleh sesuatu kekuasaan karena anugerah Allah
semata-mata (QS. Ali-‘Imran[3]: 26). Dan kemulyaan serta kekuasaan hanyalah
kepunyaan Allah SWT. (QS. Yunus[10]: 65).
Kelima, Tauhid dalam menjalankan hukum. Bahwa hukum
yang benar adalah hukum yang datang dari Allah SWT. Serta sumber kebenaran yang
muthlaq adalah Allah swt. (QS. Yusuf [12]: 40 dan 67).
Keenam, Tauhid dalam sikap hidup secara keseluruhan, bahwa
tidak ada yang patut ditakuti kecuali hanya Allah swt. (QS. at-Taubah[9]: 18),
(QS. al-Baqarah[2]: 150). Tidak ada yang patut dicintai kecuali hanya
Allah SWT (dalam arti yang absolut ) (QS. at-Taubah[9]: 24). Tidak ada
yang dapat menghilangkan kemudharatan kecuali hanya Allah SWT. (QS. Yunus[10]:
107). Tidak ada yang memberikan karunia kecuali hanya Allah SWT. (QS.
Ali-‘Imran[3]: 73). Bahkan yang menentukan hidup dan mati seseorang hanyalah
Allah swt. (QS. Ali-‘Imran[3]: 145).
Ketujuh, Sampai pada ucapan sehari-hari yang senantiasa
dikembalikan kepada Allah SWT seperti : Mengawali pekerjaan yang baik
dengan Bismillah yang bermakna atas nama Allah. Mengakhiri pekerjaan
dengan sukses membaca Alhamdulillah yang bermakna segala puji bagi Allah.
Berjanji dengan ucapan Insya Allah yang bermakna kalau Allah swt
menghendaki. Bersumpah dengan Wallahi, Bilahi, Tallahi
yang bermakna demi Allah SWT. Menghadapi sesuatu kegagalan dengan Masya
Allah yang bermakna semua berjalan atas kehendak Allah swt. Mendengar
berita orang yang meninggal dunia dengan mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna
Ilaihi Raji’un yang bermakna kami semua milik Allah SWT dan kami semua akan
kembali kepada Allah SWT. Memohon perlindungan dari sesuatu keadaan yang
tidak baik dengan ucapan A’udzu bIlahi mindzalik yang bermakna aku
berlindung kepada Allah SWT dari keadaan demikian, Mengagumi sesuatu dengan
ucapan Subhanallah yang bermakna Maha Suci Allah SWT. Terlanjur
berbuat khilaf dengan ucapan, Astaghfirullah yang bermakna aku mohon
ampun kepada Allah SWT dan lain-lain.
Kedelapan, Berhindar dari kepercayaan-kepercayaan, serta sikap-sikap
yang dapat mengganggu jiwa dan ruh tauhid seperti: Mempercayai adanya
azimat, takhyul, meminta-minta kepada selain Allah SWT, mengkultuskan sesuatu
selain Allah SWT, melakukan tasybih, musyabihah (antropomorfisme)
yaitu menganggap Allah SWT ber-jisim dan lain-lain.
b. Pembinaan kualitas ibadah
Dapat kita mafhumi di sini bahwa tugas manusia di
dunia adalah ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS Adz Dzariyat [51]: 56).
Meskipun merupakan tugas, tetapi pelaksanaan
ibadah bukan untuk Allah (QS Adz Dzariyat [51]: 56), karena Allah tidak
memerlukan apa-apa. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan keutamaan
manusia itu sendiri. Ibadah (‘abada: menyembah, mengabdi) merupakan
bentuk penghambaan manusia sebagai makhluk kepada Allah SWT Sang Pencipta.
Karena penyembahan/ pemujaan merupakan fithrah (naluri) manusia, maka ibadah
kepada Allah membebaskan manusia dari pemujaan dan pemujaan yang salah dan
sesat.
Dengan demikian, pembinaan kualitas ibadah adalah
penyempurnaan dari pembinaan tauhid. Maka seorang jama‘ah masjid sudah
seharusnya mendapatkan pembinaan secara terus-menerus dalam hal ibadah, dengan
tujuan peningkatan kualitas ibadah para jama‘ah masjid.
c. Pembinaan akhlaqul karimah
Pembinaan akhlaqul karimah bagi setiap muslim
merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus menerus tanpa henti baik
melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun
oleh orang lain.
Agama Islam erat kaitannya dengan pembinaan akhlak.
Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembinaan akhlak dalam pengertian
Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama. Sebab yang
baik adalah yang dianggap baik oleh ajaran agama dan yang buruk adalah apa yang
dianggap buruk oleh ajaran agama. Sehingga keutamaan-keutamaan akhlak dalam
masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama,
sehingga seorang muslim tidak sempurna agamanya sampai akhlaknya menjadi baik (http://udrapaliang.wordpress.com/2010/03/23/pembinaan-akhlak-al-karimah/).
Dengan berangkat dari alasan inilah, para jama‘ah
masjid perlu mendapatkan pembinaan secara terus menerus, terutama dalam
kaitannya dengan usaha meningkatkan kualitas akhlaqul karimah para
jama‘ah masjid tersebut.
d. Pembinaan baca tulis Al Qur‘an
Pembinaan baca-tulis Al-Qur‘an kepada para jama‘ah
masjid perlu dilakukan secara berkala, mengingat Al Qur‘an adalah petunjuk dan
pedoman hidup bagi umat Islam. Al Qur‘an adalah sumber hukum pertama dan utama
bagi umat Islam.
Pembinaan baca-tulis Al-Qur‘an ini bisa dilakukan
dengan kegiatan-kegiatan seperti kursus baca-tulis Al Qur‘an, dan semacamnya.
Tentu saja orang-orang yang memberikan pembinaan baca tulis Al-Qur‘an adalah
orang-orang yang berpengalaman di bidangnya, sehingga para jama‘ah masjid
betul-betul bisa merasakan manfaatnya.
Dengan adanya pembinaan baca tulis Al-Qur‘an ini,
diharapkan para jama‘ah masjid mengakrabi Al-Qur‘an, membiasakan diri mengisi
waktu luang dengan membaca Al-Qur‘an, dan juga terus-menerus termotivasi untuk
menggali dan mengkaji isi kandungan Al-Qur‘an.
e. Latihan Keterampilan
Pelatihan keterampilan dalam hal ini bisa dalam bentuk
apa saja, yang biasanya ditujukan untuk kepentingan ekonomi para jama‘ah
masjid. Kursus-kursu membuat kue, membuat kerajinan tangan dari rotan, membuat
kaligrafi, dan macam-macam keterampilan lain bisa diberikan kepada para jama‘ah
masjid dengan memanfaatkan masjid sebagai tempat di mana kursus-kursus demikian
bisa diberikan.
Di sinilah sesungguhnya fungsi masjid yang lain, yaitu
fungsi ekonomi – mengutip pendapatnya Sidi Gazalba (1994: 187), di mana
menuntun pemikiran dan cita umat islam dalam melakukan kegiatan dan tindakan
ekonomi.
Hasil karya keterampilan para jama‘ah masjid tersebut bisa
dijual untuk tujuan-tujuan ekonomis.
f. Pembelajaran seni budaya Islam
Ketika mendengar kata seni, apa yang terbesik dalam
pikiran seseorang? Sebuah puisi? Lukisan? Nyanyian? Pementasan?. Apapun itu,
penulis yakin jawabannya tidak jauh dari kata keindahan. Dalam ensiklopedi
Indonesia dikatakan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung
dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam
bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar, indera penglihat, atau dilahirkan
dengan perantaraan gerak.
Sudah menjadi fitrah, bahwa manusia menyukai
keindahan. Seseorang akan senang ketika melihat hamparan sawah yang menghijau
dengan panorama khas pedesaan. Mengapa demikian, karena itu merupakan bentuk
keindahan. Demikian juga halnya dengan nyanyian, puisi, yang juga melambangkan
keindahan. Manusia akan menyukainya.
Salah satu mukjizat Al Qur‘an, misalnya, adalah
bahasanya yang sangat indah, sehingga Abdul Walid, sastrawan terbaik Arab yang
diutus pemimpin Quraisy untuk menantang keindahan Al Qur‘an, langsung mengakui
keindahan Al Qur‘an tak tertandingi. Dalam membaca Al Qur‘an pun kita dituntut
ntuk menggabungkan keindahan suara dengan ketepatan bacaan tajwidnya.
Rasulullah SAW bersabda: “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu”. “Innallaha
Jamil Wa Yuhibbul Jamal” (Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai
keindahan), kata Rasulullah SAW. Manusia menyukai keindahan karena efek dari
keindahan Allah SWT. Al Jamiil (Yang Maha Indah) pun merupakan salah
satu dari nama-nama Allah SWT.
Islam menyeru umatnya untuk bisa merasakan, menikmati
serta mentadaburi keindahan. Maka dari itu tidak ada larangan bagi umat islam
untuk mengekspresikan keindahan yang ada dalam benak mereka. Dalam hal ini
tentunya Islam sebagai suatu agama yang syamil memberikan panduan agar
kreativitas yang dihasilakan umatnya bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan
umat manusia. Tidak dibiarkan sembarangan tanpa arah yang akhirnya menimbulkan mudharat
(http://kangridwan.wordpress.com/2011/06/10/islam-dan-seni/).
Hal inilah yang mendasari pentingnya memberikan
pembinaan seni dan budaya para jama‘ah masjid, untuk memenuhi kebutuhan para
jama‘ah masjid akan hal tersebut. Pembinaan seni dan budaya ini mempunyai nilai
penting terutama mengingat Islam sebagai agama, dalam sejarahnya juga
berkembang, melalui sarana seni dan budaya ini.
g. Penguatan ukhuwah Islamiyah
Salah satu prinsip besar yang dibangun oleh agama kita
ialah prinsip ukhuwwah (persaudaraan) di antara sesama orang beriman,
atau yang sering kita sebut dengan ukhuwah Islamiyah. “Dan
perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya
jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS. Al-Anfal [08]: 1).
Jika hubungan persaudaraan yang ada di antara manusia
sangat beraneka ragam menurut macam-macam tujuan dan maksudnya, maka hubungan
persaudaraan yang paling kokoh talinya, paling mantap jalinannya, paling kuat
ikatannya, dan paling setia kasih sayangnya ialah persaudaraan berdasarkan
agama. Karena, persaudaraan semacam ini tidak putus talinya, tidak akan berubah
karena perubahan zaman, dan tidak akan berbeda karena perbedaan orang dan
tempat. Persaudaraan yang berlandaskan akidah dan iman, serta berdasarkan agama
yang murni karena Rabb Yang Mahaesa senantiasa mampu mempersatukan umat
Islam dari berbagai penjuru. Inilah rahasia kekuatan dan kekokohannya. Inilah
kunci keakraban para personelnya yang ada di belahan bumi bagian timur maupun
barat. Dan inilah yang membuat mereka menjadi satu kesatuan yang pilar-pilarnya
sangat kuat dan bangunannya sangat kokoh. Sehingga, badai topan pun tidak
sanggup menggoyahkannya. Ia laksana bangunan yang dibangun dengan timah dan
ibarat tubuh yang satu.
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa
Al-Asy’ari ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang
mukmin bagi mukmin (lainnya) bagaikan bangunan yang satu sama lain saling
menguatkan.” (HR Bukhari dan Muslim). “Dan beliau pun menyilangkan
jari-jemarinya,” kata Abu Musa.
Ukhuwwah Islamiyah adalah ruh dari iman yang kuat dan inti dari perasaan
yang meluap-luap yang dirasakan oleh seorang muslim terhadap saudara-saudaranya
yang seakidah. Bahkan, ia merasa bahwa ia bisa hidup karena mereka, bersama
mereka dan di tengah-tengah mereka. Mengingat pentingnya ukhuwah Islamiyah bagi
umat Islam, para jamaah masjid perlu terus menerus diberikan pembinaan terutama
dalam kaitannya dengan ukhuwah Islamiyah tersebut.
Dengan demikian, ikatan sosial sesama jama‘ah masjid
pada khususnya dan umat Islam pada umumnya bisa terjalin erat.
Selain pembinaan jama‘ah masjid di atas, kaderisasi
jama‘ah juga penting untuk dilakukan, untuk tujuan “memakmurkan masjid”.
2. Pembinaan dan kaderisasi
pengurus
Menurut kebiasaan masyarakat kita bahwa setiap
pengurus masjid adalah orang yang sudah terseleksi kredibilitasnya dan oleh karena
itu ia dijadikan panutan. Karena itu, dalam hal ini, pembinaan pengurus masjid
bisa diarahkan pada dua kegiatan: Pertama, Pembinaan masjid/ tata kelola
organisasi kemasjidan (idarah); dan Kedua, Pembinaan manajemen
pemakmuran masjid (imarah). Sementara kaderisasi pengurus masjid
diarahkan untuk menyiapkan proses pergantian pengurus secara profesional dan
proporsional.
Baik pembinaan maupun kaderisasi jama‘ah atau pengurus
sengaja diarahkan supaya terbentuk kader umat yang memiliki militansi keislaman
yang tinggi, di antaranya seperti yang disebutkan dalam Al Qur‘an, yaitu
orang-orang yang memakmurkan masjid):
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah,
maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk (QS At
Taubah [09]: 18).
Karena itu juga, yang perlu diperhatikan dalam
membangun masjid adalah bagaimana memakmurkannya. Jangan sampai masjid dibangun
dengan megah tapi hanya sedikit orang memakmurkan dan mengisi masjid untuk
ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
Sungguh akan datang pada umatku suatu masa dimana
mereka saling bermegah-megahan dengan membangun beberapa masjid tapi yang
memakmurkannya hanya sedikit (H.R. Abu Dawud).
Memakmurkan masjid (ta’mirul masjid) berarti memelihara,
meramaikan dan menghidupkan suasana masjid, menjadi satu kesatuan.
Tidak dapat dikatakan masjid itu makmur kalau masjid tidak terpelihara
kebersihan dan keindahannya atau jarang dikunjungi atau tidak ada kegiatan
bermasyarakat di dalamnya.
Pemeliharaan masjid meliputi mencegah kerusakan dan
mengadakan perbaikan serta menjaga kebersihan keindahannya. Kemudian
mesti diperhatikan imarah dengan cara meramaikan dengan kegiatan
keagamaan, taushiyah, diskusi dan dialog keislaman, membaca Al Qur’an,
dan melaksanakan shalat secara berjama’ah.
F. PENUTUP
Fungsi masjid jangan dibatasi hanya sebagai tempat
shalat saja, mengingat fungsi masjid dalam sejarahnya sesungguhnya jauh lebih
luas, dari sekedar tempat melakukan ibadah shalat. Semua tempat di jagad
raya ciptaan Allah ini adalah tempat bagi kita untuk sujud.
Menurut sejarahnya, selain tempat ibadah ritual
(shalat dan baca Al Qur‘an), masjid juga mempunyai fungsi sosial, di antaranya:
Pertama, Tempat pertemuan Umat Islam; Kedua, Pusat dakwah dan
pendidikan rohani; Ketiga, Tempat pembinaan remaja muslim; Empat,
Tempat musyawarah; Lima, Tempat konsultasi dan komunikasi (ekonomi); Enam,
Tempat santunan dan kegiatan sosial budaya; Tujuh, Madrasah ilmu; Delapan,
Tempat bermula gerakan taushiyah dan amar ma’ruf nahi mungkar; Sembilan,
Tempat latihan jasmani mengatur siasat usaha; Sepuluh, Tempat
pengobatan; Sebelas, Tempat perlindungan yang aman; Dua belas,
Aula tempat menerima tamu dan persinggahan musafir.
Banyak masjid yang dibangun dengan biaya, tenaga dan
waktu yang tidak sedikit, bahkan terkadang mengabaikan rasa malu untuk
mendapatkan bantuan membangun satu masjid. Itu sebabnya nilai masjid menjadi
tinggi secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan sosial. Masjid yang hanya
menjadi tempat “parkir” shalat adalah masjid yang terabaikan dari nilai-nilai
falsafahnya, dan sangat berat untuk dipertanggungjawabkan secara moral maupun
sosial.
Di sinilah letak pentingnya masjid sebagai tempat
pembinaan dan kaderisasi umat, supaya fungsi masjid tidak terbatasi
pengetiannya sebagai tempat melakukan ibadah shalat saja, tapi juga mempunyai
fungsi sosial bagi umat Islam. Di antara cara yang perlu dilakukan untuk tujuan
ini adalah dengan memberikan pembinaan secara terus-menerus, terutama pada
jama‘ah dan pengurus masjid. Di samping itu kaderisasi jama‘ah maupun pengurus
perlu dilakukan secara kontinyu.***
DAFTAR PUSTAKA
DEPAG RI, 1989. Al Qur‘an dan Terjemahan.
Semarang: Toha Putra.
George Makdisi, 2010. Religion, Law and
Learning Classical Islam. Viriorum: Philadelpa.
http://hmasoed.wordpress.com/2011/01/10/mesjid-sebagai-pusat-pembinaan-ummat/
http://kangridwan.wordpress.com/2011/06/10/islam-dan-seni/
http://udrapaliang.wordpress.com/2010/03/23/pembinaan-akhlak-al-karimah/
http://www.jprmi.or.id/tentang-kami/sejarah/item/84-optimalisasi-peran-masjid?tmpl=component&print=1
Khalid Muhammad Khalid, 2000. 60 Sahabat
Rasulullah. Terjemahan M. Arfi Hatim dari judul asli Men Around The
Messenger. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moh. Haitami Salim dan Erwin Mahrus, 2006. Filsafat
Pendidikan Islam. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Muhammad Munir Mursyi, 1982. Al Tarbiyah Al
Islamiyah. Dar al Kutb: Kairo.
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, 2010. Sirah
Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa
Rasulullah Saw. Jakarta: Rabbani Press.
Muhammad al Shadiq Argun, tt. Rasulullah Saw.
(terj.) Beirut: Dar al Qalam.
M. Quraish Shihab, 1996. Wawasan Al Qur’an.
Bandung: Mizan.
Poerwanto, dkk. 1991. Seluk-beluk Filsafat Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Samsul Nisar, 2007. Sejarah Pendidikan Islam
(Menelusuri jejak sejarah pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia).
Jakarta: Kencana.
Sidi Gazalba, 1994. Mesjid, Pusat Ibadat dan
Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna.
Zainal Efendi Hasibuan, 2009. Profil
Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal: Telaah Pola Pendidikan Islam Era Rasulullah
Fase Mekkah dan Madinah dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar