وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى
النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Al-Baqarah [2]:143
A. Pendahuluan
Pada awal-awal abad ke XX hingga tahun 80-an ada arus deras
tuduhan yang dialamatkan ke Jamaah (bukan Jami’iyah, karena baru lahir tahun
1926) kaum sarungan dan yang seidentitas, bahwa mereka merupakan basis kumpulan
orang-orang yang susah ditarik ke dunia modern. Berbagai upaya dilakukan, baik
dari dalam maupun dari luar, untuk menarik gerbong ini untuk ikut mengarungi
samudera modernitas, agar tidak menjadi penghalang bagi kemajuan umat. Jumud,
taqlid, ndeso, penjaga tradisi dan kitab kuning, dan anti pembaharuan adalah di
antara kosa-kata yang akrab disematkan kepada mereka sebagai bentuk pandangan
yang serba underestimate. Singkatnya, santri-santri era itu, baik dalam
negeri maupun luar negeri seperti santri-santri Al-Azhar, lazim disebut sebagai
simbol kekolotan.
Berbagai model serangan diarahkan langsung terutama
kepada teologi dan model pemikiran yang mereka anut. Fikih Syafi’iyah, misalnya,
dianggap tak lagi sesuai dengan aturan dunia yang semakin rumit. Keteguhan
untuk taqlid hanya kepada salah satu empat madzhab fikih dipandang tak lagi sesuai
dengan kehidupan modern yang menuntut pandangan dan solusi fiqhy yang
jauh lebih sesuai dengan arus kehidupan kosmopolit. Akidah yang hanya
disandarkan kepada Asy’ariyah juga dianggap sebagai salah satu sebab kemunduran
umat. Peleburan antara teologi Asy’ariyah dan Tasawuf a la Ghozalian sering disoroti sebagai dalang
sikap fatalistik Nahdliyin. Zuhud dalam ajaran Tasawuf, dan ajaran
tentang teori kasb, serta teori al-asbab wa al-musabbabat yang
dalam ajaran ASWAJA hanya merupakan istiadat kebersamaan tanpa ada
kepastian kausalitas, sering melahirkan kepasrahan total kepada takdir Allah
swt. tanpa disertai sikap yang proporional terhadap determinasi hukum alam.
Namun setelah dunia internasional dikagetkan dengan serangkaian
aksi-aksi radikal, pandangan para pemerhati kembali diarahkan kepada model
keberagamaan kaum tradisionalis dengan lebih apresiatif. Apa yang dahulu dianggap
sebagai bangunan pemikiran yang mengarah kepada sikap dan tindakan regresif,
sekarang dinilai dengan penuh apresiatif sebagai model keberagamaan moderat
yang lebih sesuai dengan dunia modern. Model keberagamaan yang demikian ini
pada akhirnya dinilai yang paling cocok untuk digandeng sebagai partner dalam
mengarungi dunia modern yang menuntut pandangan-pandangan yang toleran dan
moderat.
Pada intinya, ada dua pandangan yang berseberangan dalam
melihat dan mencermati model keberagamaan kaum tradisionalis. Di satu sisi
dianggap sebagai model keberagamaan yang mengarah kepada kejumudan, akan tetapi
di sisi yang lain dianggap sebagai sikap moderat yang jauh dari radikalisme.
B. Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahl as-sunnah wa al-jama’ah terdiri dari tiga kalimat, ahl,
as-sunnah dan al-jama’ah. Ahl bisa berarti keluarga, kerabat,
dan mereka yang berhak atau yang memiliki. Dalam hal ini, ahlussunnah mengandung
arti mereka yang berhak menyandang pengikut assunnah atau mereka
yang memiliki secara sah terhadap assunnah. Dan assunnah menurut arti
kebahasaan adalah perilaku (assirah) atau jalan (ath-thariqah). Sunnah Rasul
saw. Berarti perilaku, biografi, atau tindak lampah Rasulullah saw. Sunnah pada
dasarnya bisa bermakna perilaku yang terpuji dan perilaku yang tercela, seperti
dalam sebuah hadits:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من
عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ، ومن سن في الإسلام سنة سيئة فله
وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء.
Sementara menurut
terminologis, sunnah memiliki sejumlah makna, diantara yang terpenting adalah:
(1) sesuatu yang lahir dari Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan,
perbuatan, penetapan, maupun hal-hal yang telah direncanakan oleh beliau; (2)
kebalikan dari bid’ah, seperti ucapan: fulan ‘ala assunnah, seseorang
itu mengikuti sunnah, yakni berperilaku
sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasul saw. baik amal-amal yang termaktub
dalam nash Alquran atau tidak. Namun dalam kaitannya dengan rangkaian kalimat ahlussunah
sebagaimana dalam studi akidah, sunnah lebih mengarah kepada metode dan
perilaku, utamanya yang menyangkut akidah, yang terhindar dari syubhat dan
syahwah sebagaimana dicontohkan oleh Rasul saw. dan para sahabatnya.
Menurut hemat penulis,
definisi ini tidak cukup memadai, karena pengertian syubhat dan syahwat
berpotensi melahirkan polemik, karena sudah pasti akan cenderung subjektif
Adapun al-Jamaah memiliki
arti golongan atau kelompok. Kalimat ini sangat umum seperti halnya kalimat
sunnah. Oleh karena itu perlu penjelasan siapa yang dimaksud dengan golongan
ini. Nabi Muhammad saw. berkenaan dengan lafadz ini diantaranya mengatakan
seperti berikut:
أوصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
ثم يفشو الكذب حتى يحلف الرجل ولا يستحلف ويشهد ولا يستشهد فمن أراد منكم بحبوحة
الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد ..
المستدرك
Dalam hadits ini, kalimat فليلزم الجماعة
tidak terdapat penjelasan lebih lanjut apa kriteria jamaah, namun secara umum
rangkaian hadis ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah jamaah
para sahabat dan dua kurun sesudahnya, atau apa yang sering disebut dengan assalafussalih.
Dalam hadits yang lain mengenai al-firqah an-najiah, Nabi Muhammad
mengatakan: وهي الجماعة. (المستدرك). Kalimat al-jama’ah juga terdapat dalam
hadits mengenai sekelompok orang yang keluar dari pemerintahan yang dianggap
sah:
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من
فارق الجماعة شبرا فمات إلا مات ميتة جاهلية. صحيح البخاري
Dari beberapa hadits ini,
sejumlah pakar mencoba mengartikan secara definitif arti jama’ah dalam rangkaian kalimat ahlusunnnah wal jamaah. Sebagian ulama mengartikan jamaah sebagai kelompok para sahabat. Hadits
terkenal yang mendasari pendapat ini adalah hadits iftiraq:
ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو
النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني
إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في
النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي: رواه
الترمذي وغيره.
Sampai di sini pertanyaan
segera muncul: sahabat yang mana yang harus diikuti, mengingat sahabat sendiri
berbeda-beda? Juga bagaimana cara mengikuti para sahabat tersebut, apakah mengikuti
secara harfi atau mengikuti secara substansial.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud jamaah
adalah ahlul ilmi, dan sebagian dari mereka menunjuk ahlil hadits
sebagai ahlul ilmi tersebut. Dalam Shahihnya, Imam Bukhari, misalnya,
membuat satu judul tentang keharusan bersama al-jamaah, lalu mengartikan jamaah
sebagai ahlul ilmi:
باب قوله تعالى { وكذلك جعلناكم أمة وسطا } / البقرة 143 /
. وما أمر النبي صلى الله عليه وسلم بلزوم الجماعة وهم أهل العلم.
صحيح البخاري
Dan Imam
Ahmad dalam Musnadnya menjelaskan bahwa ahlil ilmi tersebut adalah Ahlul
Hadits, karena mereka lah sejatinya ahlul ilmi tersebut. Al-Khathib al-Baghdadi
dalam bukunya, Syaraf Ahl al-Hadits, meriwayatkan dari Imam Ahmad:
عن أحمد بن حنبل ، وذكر ، حديث النبي صلى الله
عليه وسلم : « تفترق الأمة على نيف وسبعين فرقة ، كلها في النار إلا فرقة » ، فقال
: إن لم يكونوا أصحاب الحديث ، فلا أدري من هم.
Pendapat
yang disampaikan oleh Imam Ahmad ini tampaknya tak luput dari rivalitas
Mu’tazilah dengan kelompok Ahlil Hadits yang dia pimpin. Pendapat ini jika
tidak dicermati dengan kritis, maka pada ujungnya akan melahirkan pemahaman
yang radikal, seperti dipraktikkan di kemudian hari oleh sejumlah kelompok
salafis. Pengartian yang lebih objektif dalam kerangka pendapat ke dua ini,
disampaikan oleh Imam at-Turmudzi: “arti al-jamaah menurut para pakar adalah para
ahli fikih, ahli ilmu dan ahli hadits”:
عن ابن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن الله
لا يجمع أمتي أو قال: أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة
ومن شذ شذ إلى النار. قال أبو عيسى: وتفسير الجماعة عند أهل العلم هو أهل الفقه
والعلم والحديث. اهـ . سنن الترمذي.
Pendapat
ketiga menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan al-jamaah adalah assawadul
a’dzam, mayoritas umat Islam. Dalam sebuah riwayat tentang firqah najiah
dari Anas bin Malik ra. disebutkan bahwa kelompok yang selamat adalah assawadul
a’dzam:
عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « افترقت بنو
إسرائيل على إحدى وسبعين فرقة، وإن أمتي ستفترق على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في
النار إلا السواد الأعظم » الإبانة الكبرى لابن بطة.
Penafsiran
seperti ini agak problematis, karena tidak semua yang diikuti oleh mayoritas selalu
benar sebagaimana tercermin dalam Surah al-An’am
ayat 116:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن
فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ
وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
Tampaknya
paradoks ini lah yang disoroti oleh Imam Suyuthi, sehingga dalam sebuah hadits
dhaif:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم
اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم. سنن ابن ماجة
beliau memberi batasan tertentu, yaitu bahwa
yang dimaksud dengan mayoritas adalah mayoritas yang berada pada jalan yang
lurus:
قال السيوطي في تفسير السواد الأعظم: أي جماعة
الناس ومعظمهم الذين يجتمعون على سلوك المنهج المستقيم. اهـ حاشية السندي على سنن
ابن ماجة.
Dengan
penafsiran seperti ini, Imam Suyuthi seperti memberi penjelasan bahwa yang
terpenting bukan mayoritas atau minoritas, akan tetapi haq dan batil. Haq harus
diikuti walau pengikutnya minoritas, sebaliknya batil harus dijauhi walau
diikuti oleh mayoritas. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud
ra: al-jamaah adalah hal-hal yang sesuai dengan prinsip ketaatan kepada
Allah, walau engkau sendirian, إنما الجماعة ما
وافق طاعة الله وإن كنت وحدك. شرح أصول اعتقاد أهل السنة للالكائي.
Moderitas ASWAJA
Aswaja secara luas dikenal sebagai
ahlussunnah wal jamaah a la Nahdliyyin. Pemetaan kriteria demikian ini
dipandang perlu mengingat bahwa hampir tidak ada satu sekte pun yang tak
mengaku sebagai Sunni. Bahkan Syiah yang tak percaya dengan hadits al-iftiraq
menganggap diri mereka sabagai sunni sejati. Dalam Qanun Asasinya, Aswaja
dijabarkan sebagai aliran (arus utama) yang mengikuti Abul Hasan al-Asy’ari
atau Abu Manshur al-Maturidi dalam akidah, dan mengikuti salah satu madzhab
empat dalam fikih, dan mengikuti Imam al-Junaidi dan Imam al-Ghazali dalam
tasawuf. Tiga kategori pada definisi di muka, yakni akidah, fikih, dan tasawuf
adalah bentuk lain dari tiga dimensi agama yang dibawa Nabi Muhammad, yaitu
iman, islam, dan ihsan.
Pertama yang patut disampaikan di sini adalah
sikap moderasi Aswaja ketika memilah-milah tiga bidang di atas, dan
menyandarkannya kepada imam-imam yang berkompeten di bidangnya. Akidah
misalnya, tidak disandarkan kepada Imam Syafi’iy atau Imam Ahmad, meski
keduanya memiliki prinsip-prinsip akidah tertentu yang diakui dalam tradisi
ahlussunnah. Demikian ini mengingat akidah keduanya hanya mewakili satu model
dalam teologi Aswaja, yaitu akidah salafi. Seperti diketahui bahwa keduanya
termasuk di antara tokoh yang tidak setuju dengan ilmu kalam yang sering
disandarkan kepada khalaf, yang itu justru diakui oleh Aswaja.
Pemilihan ini satu keberanian tersendiri yang
patut diapresiasi, karena seperti memberi jalan bagi generasi-genarasi
Nahdliyin berikutnya untuk aktif berkreasi dalam menjawab tantangan-tantangan
yang dihadapi, dengan menempatkan para tokoh pada proporsinya masing-masing
tanpa disertai pengkultusan. Imam Asy’ari memberi contoh yang baik dalam hal
ini. Posisi beliau sebagai pengikut Imam Syafi’i dalam bidang fikih tidak
menyurutkan beliau untuk menelusuri ilmu kalam dalam akidah yang itu tak
sejalan dengan Imam Syafi’i yang dia ikuti.
Dari sini kita menuju pada pertanyaan
selanjutnya: kenapa Imam Abul Hasan al-Asy’ari dipilih sebagai imam akidah
dalam Aswaja? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya disampaikan bahwa
ketika Abul Hasan al-Asy’ari datang ke Baghdad, keberagamaan di sana banyak
didominasi oleh Hanabilah yang pada saat itu dipimpin oleh al-Hasan bin Ali
al-Barbahari. Sebagai pendatang baru di Baghdad, Abul Hasan silaturrahmi kepada
al-Barbahari, lalu menceritakan kegiatan dan perjuangannya selama ini dalam
membela Islam Sunni, di mana dia menulis bantahan-bantahan terhadap pemikiran al-Juba’i
dan Abi Hasyim, dan meruntuhkan ajaran-ajaran Yahudi, Nasrani dan Majusi. Berkenaan
dengan masalah ini, dia menceritakan qadhiyah-qadhiyah kalamiyah. Selesai ia
bercerita, al-Barbahari mengatakan bahwa ia sama sekali tak paham dan tak mengerti
semua apa yang dia ceritakan, ia hanya tahu apa yang dijelaskan oleh al-Imam
Ahmad bin Hambal.
Peristiwa ini sepertinya menyadarkan
al-Asy’ari, bahwa untuk bisa diterima oleh kalangan Hanabilah yang nota bene
adalah pemegang gelar ahlussunnah wal jamaah saat itu, dia harus melakukan
pendekatan yang lebih bisa dipercaya dari sekedar “sowan” dan bercerita
menerangkan jejak-rekam pribadinya dalam ber-ahlissunnah wal jama’ah. Dari sini
dia mulai menulis bukunya yang berjudul al-Ibanah ‘an Ushul addiyanah, yang
kemudian ia lounching di Masjid Raya Baghdad. Pada pembukaan buku ini, ia
terang-terangan menyatakan bahwa dia mengikuti semua bangunan akidah yang
diformulasikan oleh Imam Ahmad bin Hambal:
قولنا الذي نقول به وديانتنا التي
ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز وجل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم وما
روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن
محمد بن حنبل - نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته -
قائلون ولما خالف قوله مخالفون لأنه الإمام الفاضل والرئيس الكامل الذي أبان الله
به الحق ودفع به الضلال وأوضح به المنهاج وقمع به بدع المبتدعين وزيع الزائغين وشك
الشاكين فرحمة الله عليه من إمام مقدم وجليل معظم وكبير مفهم.
Tapi
apakah dia benar-benar mengikuti Imam Ahmad? Di sini perlu dicatat bahwa ia
memiliki cara tersendiri dalam mengikuti Imam Ahmad yang berbeda dari model Ibn
Taimiyah misalnya. Ia misalnya dalam permasalahan يد
الله , walau tidak melakukan
takwil, tetapi sekaligus tidak menyatakan bahwa yang dikehendaki adalah tangan
sebagai anggota tubuh. Ini artinya dia berpendirian, bahwa yad di sini tidak
dikehendaki makna dzharinya sebagaimana disampaikan oleh Ibn Taimiyah. Kata
al-Asy’ari:
وإذا فسدت الأقسام الثلاثة صح القسم
الرابع وهو أن معنى قوله تعالى : (بيدي) إثبات يدين ليستا جارحتين ولا قدرتين ولا
نعمتين
Selain
itu, masih dalam kitab yang sama, dia juga tetap pada pendirian bahwa Allah
al-Khaliq tidak mungkin bersemayam pada Dirinya hal-hal yang bersifat hadits
(baru), sehingga dalam masalah الكلام dia tetap memberi embel-embel لم يزل به متكلما
, Allah berbicara dan selalu tetap berbicara (tanpa pernah terputus).
Hal
demikian ini perlu disampaikan untuk menyatakan bahwa walau dalam kitab Ibanah
dia tidak melakukan takwil, tetapi konsepsi-konsepsi ilmu kalam masih dia
pertahankan. Dengan itu, kita bisa memahami kenapa pada bukunya yang lain,
yakni استحسان الخوض في علم الكلام dia terang-terangan membela sejumlah logika dalam ilmu kalam,
hal mana itu bertentangann dengan pandangan Ahmad bin Hambal yang dalam buku
Ibanah dia nyatakan sebagai imam madzhabnya.
Menurut
hemat penulis, di sini lah justeru kepiawaian Imam al-Asy’ari sehingga dia
dijadikan model oleh NU dalam berakidah. Dia pada satu sisi membela Ahmad bin
Hambal (salaf), namun pada sisi yang lain tetap memberi ruang bagi
mereka yang melakukan takwil (khalaf). Dalam bahasa lain bisa dikatakan
bahwa, Ahmad bin Hambal berada pada posisi yang benar, sementara khalaf
berupaya untuk benar, tanpa meyakini sepenuhnya bahwa takwil yang disampaikan
adalah pasti kebenaran yang dikehendaki oleh Allah swt. Sikap demikian ini pada
akhirnya mampu mewariskan kriteria moderat dalam tubuh NU, hal yang saya kira
patut dan perlu untuk dilestarikan.
Sikap
moderat yang ditampilkan oleh Imam Asy’ari ini mengantarkan pada persoalan
pembaharuan. Sebagaimana diyakini oleh kalangan Nahdliyin, ia adalah bagian
dari pembaharuan, bahkan ia adalah salah satu dari pembaharu atau mujaddid. Ia
oleh banyak kalangan ditetapkan sebagai mujaddid kurun ke empat, di mana dia
lahir pada tahun 260 H. dan wafat tahun 324 H. Dia dianggap mampu memadukan
antara salaf dan khalaf, di mana keduanya diberi ruang kebenaran sesuai dengan
proporsinya. Selain itu, dia telah mencontohkan dengan baik dan tepat pemaknaan
tajdid serta realisasinya.
Sementara
ini, banyak kalangan yang mengartikan tajdid sebagai upaya mengembalikan
kemurnian Islam seperti sedia kala pada era Nabi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Abul A’la al-Maududi misalnya, ia mengartikan tajdid
sebagai berikut:
فحقيقة التجديد تعني تغيير الصورة
التي ألفها المسلمون وغيرهم عن دينهم ، وتطهيره من أدناس وقيم أنظمة أخرى علقت به
وتحكمت في المسلمين طويلا، والعود بهم سريعا إلى خط الإسلام الواضح ونظامه المقرر
في نظرته إلى الحياة الإنسانية، وتصوره المعين للإنسان والكون الذي يعيش فيه.
Pandangan senada
disampaikan oleh generasi sebelumnya seperti al-‘Alqami (w. 969 H), di mana
dalam syarah hadits tajdid dia mengatakan:
معنى التجديد إحياء ما اندرس من العمل بالكتاب
والسنة والأمر بمقتضاهما.
Pemaknaan demikian perlu
disikapi dengan hati-hati, karena berpotensi melahirkan penghadiran model
kehidupan abad satu hijriah pada abad modern. Selain itu, ini juga bisa berarti
kemandegan inovasi-inovasi kreatif dalam menjalani kehidupan kontemporer. Ini
pula yang melatari sebagian muslim menjadikan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai
pembaharu, padahal yang dia lakukan adalah memberhentikan denyut kehidupan pada
abad pertama hijriah, hal yang secara esensial bertentangan dengan makna dasar
tajdid.
Ini lain dengan apa yang
dicontohkan oleh Imam Asy’ari, di mana dia memaknai pembaharuan sebagai
langkah-langkah inovatif dan kreatif dalam keberagamaan. Dalam Istihsanul
Khawdhi fi ‘Ilmil Kalam, dia diantaranya berbicara mengenai jisim
(fisik), apakah boleh mengatakan bahwa Allah swt. bukan fisik, sementara hal
demikian tidak pernah dinyatakan dalam al-Quran? Menurut
hemat penulis, Imam Asy’ari dengan kuat ingin mengatakan bahwa tajdid atau
pembaharuan bukan kembali seperti era Rasulullah dan para sahabatnya, akan
tetapi tajdid adalah inovasi-inovasi yang bermanfaat dalam keberagamaan selama
hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah dinyatakan dalam
agama.
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar