hab

hab

Senin, 02 Januari 2017

Meneguhkan Moderitas ASWAJA NU


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Al-Baqarah [2]:143

A.    Pendahuluan
Pada awal-awal abad ke XX hingga tahun 80-an ada arus deras tuduhan yang dialamatkan ke Jamaah (bukan Jami’iyah, karena baru lahir tahun 1926) kaum sarungan dan yang seidentitas, bahwa mereka merupakan basis kumpulan orang-orang yang susah ditarik ke dunia modern. Berbagai upaya dilakukan, baik dari dalam maupun dari luar, untuk menarik gerbong ini untuk ikut mengarungi samudera modernitas, agar tidak menjadi penghalang bagi kemajuan umat. Jumud, taqlid, ndeso, penjaga tradisi dan kitab kuning, dan anti pembaharuan adalah di antara kosa-kata yang akrab disematkan kepada mereka sebagai bentuk pandangan yang serba underestimate. Singkatnya, santri-santri era itu, baik dalam negeri maupun luar negeri seperti santri-santri Al-Azhar, lazim disebut sebagai simbol kekolotan.
Berbagai model serangan diarahkan langsung terutama kepada teologi dan model pemikiran yang mereka anut. Fikih Syafi’iyah, misalnya, dianggap tak lagi sesuai dengan aturan dunia yang semakin rumit. Keteguhan untuk taqlid hanya kepada salah satu empat madzhab fikih dipandang tak lagi sesuai dengan kehidupan modern yang menuntut pandangan dan solusi fiqhy yang jauh lebih sesuai dengan arus kehidupan kosmopolit. Akidah yang hanya disandarkan kepada Asy’ariyah juga dianggap sebagai salah satu sebab kemunduran umat. Peleburan antara teologi Asy’ariyah dan Tasawuf  a la Ghozalian sering disoroti sebagai dalang sikap fatalistik Nahdliyin. Zuhud dalam ajaran Tasawuf, dan ajaran tentang teori kasb, serta teori al-asbab wa al-musabbabat yang dalam ajaran ASWAJA hanya merupakan istiadat kebersamaan tanpa ada kepastian kausalitas, sering melahirkan kepasrahan total kepada takdir Allah swt. tanpa disertai sikap yang proporional terhadap determinasi hukum alam.
Namun setelah dunia internasional dikagetkan dengan serangkaian aksi-aksi radikal, pandangan para pemerhati kembali diarahkan kepada model keberagamaan kaum tradisionalis dengan lebih apresiatif. Apa yang dahulu dianggap sebagai bangunan pemikiran yang mengarah kepada sikap dan tindakan regresif, sekarang dinilai dengan penuh apresiatif sebagai model keberagamaan moderat yang lebih sesuai dengan dunia modern. Model keberagamaan yang demikian ini pada akhirnya dinilai yang paling cocok untuk digandeng sebagai partner dalam mengarungi dunia modern yang menuntut pandangan-pandangan yang toleran dan moderat.
Pada intinya, ada dua pandangan yang berseberangan dalam melihat dan mencermati model keberagamaan kaum tradisionalis. Di satu sisi dianggap sebagai model keberagamaan yang mengarah kepada kejumudan, akan tetapi di sisi yang lain dianggap sebagai sikap moderat yang jauh dari radikalisme.
B.     Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahl as-sunnah wa al-jama’ah terdiri dari tiga kalimat, ahl, as-sunnah dan al-jama’ah. Ahl bisa berarti keluarga, kerabat, dan mereka yang berhak atau yang memiliki. Dalam hal ini, ahlussunnah mengandung arti mereka yang berhak menyandang pengikut assunnah atau mereka yang memiliki secara sah terhadap assunnah. Dan assunnah menurut arti kebahasaan adalah perilaku (assirah) atau jalan (ath-thariqah). Sunnah Rasul saw. Berarti perilaku, biografi, atau tindak lampah Rasulullah saw. Sunnah pada dasarnya bisa bermakna perilaku yang terpuji dan perilaku yang tercela, seperti dalam sebuah hadits:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ، ومن سن في الإسلام سنة سيئة فله وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء.
            Sementara menurut terminologis, sunnah memiliki sejumlah makna, diantara yang terpenting adalah: (1) sesuatu yang lahir dari Nabi Muhammad saw., baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun hal-hal yang telah direncanakan oleh beliau; (2) kebalikan dari bid’ah, seperti ucapan: fulan ‘ala assunnah, seseorang itu mengikuti sunnah,  yakni berperilaku sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasul saw. baik amal-amal yang termaktub dalam nash Alquran atau tidak. Namun dalam kaitannya dengan rangkaian kalimat ahlussunah sebagaimana dalam studi akidah, sunnah lebih mengarah kepada metode dan perilaku, utamanya yang menyangkut akidah, yang terhindar dari syubhat dan syahwah sebagaimana dicontohkan oleh Rasul saw. dan para sahabatnya.
            Menurut hemat penulis, definisi ini tidak cukup memadai, karena pengertian syubhat dan syahwat berpotensi melahirkan polemik, karena sudah pasti akan cenderung subjektif
            Adapun al-Jamaah memiliki arti golongan atau kelompok. Kalimat ini sangat umum seperti halnya kalimat sunnah. Oleh karena itu perlu penjelasan siapa yang dimaksud dengan golongan ini. Nabi Muhammad saw. berkenaan dengan lafadz ini diantaranya mengatakan seperti berikut:
أوصيكم بأصحابي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يفشو الكذب حتى يحلف الرجل ولا يستحلف ويشهد ولا يستشهد فمن أراد منكم بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .. المستدرك
            Dalam hadits ini, kalimat فليلزم الجماعة tidak terdapat penjelasan lebih lanjut apa kriteria jamaah, namun secara umum rangkaian hadis ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah jamaah para sahabat dan dua kurun sesudahnya, atau apa yang sering disebut dengan assalafussalih. Dalam hadits yang lain mengenai al-firqah an-najiah, Nabi Muhammad mengatakan:  وهي الجماعة. (المستدرك). Kalimat al-jama’ah juga terdapat dalam hadits mengenai sekelompok orang yang keluar dari pemerintahan yang dianggap sah:
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات إلا مات ميتة جاهلية. صحيح البخاري
            Dari beberapa hadits ini, sejumlah pakar mencoba mengartikan secara definitif arti jama’ah dalam rangkaian kalimat ahlusunnnah wal jamaah. Sebagian ulama mengartikan jamaah sebagai kelompok para sahabat. Hadits terkenal yang mendasari pendapat ini adalah hadits iftiraq:
ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي: رواه الترمذي وغيره.
            Sampai di sini pertanyaan segera muncul: sahabat yang mana yang harus diikuti, mengingat sahabat sendiri berbeda-beda? Juga bagaimana cara mengikuti para sahabat tersebut, apakah mengikuti secara harfi atau mengikuti secara substansial.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud jamaah adalah ahlul ilmi, dan sebagian dari mereka menunjuk ahlil hadits sebagai ahlul ilmi tersebut. Dalam Shahihnya, Imam Bukhari, misalnya, membuat satu judul tentang keharusan bersama al-jamaah, lalu mengartikan jamaah sebagai ahlul ilmi:
باب قوله تعالى { وكذلك جعلناكم أمة وسطا } / البقرة 143 / . وما أمر النبي صلى الله عليه وسلم بلزوم الجماعة وهم أهل العلم. صحيح البخاري
            Dan Imam Ahmad dalam Musnadnya menjelaskan bahwa ahlil ilmi tersebut adalah Ahlul Hadits, karena mereka lah sejatinya ahlul ilmi tersebut. Al-Khathib al-Baghdadi dalam bukunya, Syaraf Ahl al-Hadits, meriwayatkan dari Imam Ahmad:
عن أحمد بن حنبل ، وذكر ، حديث النبي صلى الله عليه وسلم : « تفترق الأمة على نيف وسبعين فرقة ، كلها في النار إلا فرقة » ، فقال : إن لم يكونوا أصحاب الحديث ، فلا أدري من هم.
            Pendapat yang disampaikan oleh Imam Ahmad ini tampaknya tak luput dari rivalitas Mu’tazilah dengan kelompok Ahlil Hadits yang dia pimpin. Pendapat ini jika tidak dicermati dengan kritis, maka pada ujungnya akan melahirkan pemahaman yang radikal, seperti dipraktikkan di kemudian hari oleh sejumlah kelompok salafis. Pengartian yang lebih objektif dalam kerangka pendapat ke dua ini, disampaikan oleh Imam at-Turmudzi: “arti al-jamaah menurut para pakar adalah para ahli fikih, ahli ilmu dan ahli hadits”:
عن ابن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن الله لا يجمع أمتي أو قال: أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة ومن شذ شذ إلى النار. قال أبو عيسى: وتفسير الجماعة عند أهل العلم هو أهل الفقه والعلم والحديث.  اهـ . سنن الترمذي.
            Pendapat ketiga menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan al-jamaah adalah assawadul a’dzam, mayoritas umat Islam. Dalam sebuah riwayat tentang firqah najiah dari Anas bin Malik ra. disebutkan bahwa kelompok yang selamat adalah assawadul a’dzam:
عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « افترقت بنو إسرائيل على إحدى وسبعين فرقة، وإن أمتي ستفترق على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار إلا السواد الأعظم » الإبانة الكبرى لابن بطة.
            Penafsiran seperti ini agak problematis, karena tidak semua yang diikuti oleh mayoritas selalu benar sebagaimana tercermin dalam Surah al-An’am ayat 116:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
            Tampaknya paradoks ini lah yang disoroti oleh Imam Suyuthi, sehingga dalam sebuah hadits dhaif:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم. سنن ابن ماجة
beliau memberi batasan tertentu, yaitu bahwa yang dimaksud dengan mayoritas adalah mayoritas yang berada pada jalan yang lurus:
قال السيوطي في تفسير السواد الأعظم: أي جماعة الناس ومعظمهم الذين يجتمعون على سلوك المنهج المستقيم. اهـ حاشية السندي على سنن ابن ماجة.
            Dengan penafsiran seperti ini, Imam Suyuthi seperti memberi penjelasan bahwa yang terpenting bukan mayoritas atau minoritas, akan tetapi haq dan batil. Haq harus diikuti walau pengikutnya minoritas, sebaliknya batil harus dijauhi walau diikuti oleh mayoritas. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud ra: al-jamaah adalah hal-hal yang sesuai dengan prinsip ketaatan kepada Allah, walau engkau sendirian, إنما الجماعة ما وافق طاعة الله وإن كنت وحدك. شرح أصول اعتقاد أهل السنة للالكائي.
             Moderitas ASWAJA
Aswaja secara luas dikenal sebagai ahlussunnah wal jamaah a la Nahdliyyin. Pemetaan kriteria demikian ini dipandang perlu mengingat bahwa hampir tidak ada satu sekte pun yang tak mengaku sebagai Sunni. Bahkan Syiah yang tak percaya dengan hadits al-iftiraq menganggap diri mereka sabagai sunni sejati. Dalam Qanun Asasinya, Aswaja dijabarkan sebagai aliran (arus utama) yang mengikuti Abul Hasan al-Asy’ari atau Abu Manshur al-Maturidi dalam akidah, dan mengikuti salah satu madzhab empat dalam fikih, dan mengikuti Imam al-Junaidi dan Imam al-Ghazali dalam tasawuf. Tiga kategori pada definisi di muka, yakni akidah, fikih, dan tasawuf adalah bentuk lain dari tiga dimensi agama yang dibawa Nabi Muhammad, yaitu iman, islam, dan ihsan.
Pertama yang patut disampaikan di sini adalah sikap moderasi Aswaja ketika memilah-milah tiga bidang di atas, dan menyandarkannya kepada imam-imam yang berkompeten di bidangnya. Akidah misalnya, tidak disandarkan kepada Imam Syafi’iy atau Imam Ahmad, meski keduanya memiliki prinsip-prinsip akidah tertentu yang diakui dalam tradisi ahlussunnah. Demikian ini mengingat akidah keduanya hanya mewakili satu model dalam teologi Aswaja, yaitu akidah salafi. Seperti diketahui bahwa keduanya termasuk di antara tokoh yang tidak setuju dengan ilmu kalam yang sering disandarkan kepada khalaf, yang itu justru diakui oleh Aswaja.
Pemilihan ini satu keberanian tersendiri yang patut diapresiasi, karena seperti memberi jalan bagi generasi-genarasi Nahdliyin berikutnya untuk aktif berkreasi dalam menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi, dengan menempatkan para tokoh pada proporsinya masing-masing tanpa disertai pengkultusan. Imam Asy’ari memberi contoh yang baik dalam hal ini. Posisi beliau sebagai pengikut Imam Syafi’i dalam bidang fikih tidak menyurutkan beliau untuk menelusuri ilmu kalam dalam akidah yang itu tak sejalan dengan Imam Syafi’i yang dia ikuti.
Dari sini kita menuju pada pertanyaan selanjutnya: kenapa Imam Abul Hasan al-Asy’ari dipilih sebagai imam akidah dalam Aswaja? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya disampaikan bahwa ketika Abul Hasan al-Asy’ari datang ke Baghdad, keberagamaan di sana banyak didominasi oleh Hanabilah yang pada saat itu dipimpin oleh al-Hasan bin Ali al-Barbahari. Sebagai pendatang baru di Baghdad, Abul Hasan silaturrahmi kepada al-Barbahari, lalu menceritakan kegiatan dan perjuangannya selama ini dalam membela Islam Sunni, di mana dia menulis bantahan-bantahan terhadap pemikiran al-Juba’i dan Abi Hasyim, dan meruntuhkan ajaran-ajaran Yahudi, Nasrani dan Majusi. Berkenaan dengan masalah ini, dia menceritakan qadhiyah-qadhiyah kalamiyah. Selesai ia bercerita, al-Barbahari mengatakan bahwa ia sama sekali tak paham dan tak mengerti semua apa yang dia ceritakan, ia hanya tahu apa yang dijelaskan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal.
Peristiwa ini sepertinya menyadarkan al-Asy’ari, bahwa untuk bisa diterima oleh kalangan Hanabilah yang nota bene adalah pemegang gelar ahlussunnah wal jamaah saat itu, dia harus melakukan pendekatan yang lebih bisa dipercaya dari sekedar “sowan” dan bercerita menerangkan jejak-rekam pribadinya dalam ber-ahlissunnah wal jama’ah. Dari sini dia mulai menulis bukunya yang berjudul al-Ibanah ‘an Ushul addiyanah, yang kemudian ia lounching di Masjid Raya Baghdad. Pada pembukaan buku ini, ia terang-terangan menyatakan bahwa dia mengikuti semua bangunan akidah yang diformulasikan oleh Imam Ahmad bin Hambal:
قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز وجل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل - نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته - قائلون ولما خالف قوله مخالفون لأنه الإمام الفاضل والرئيس الكامل الذي أبان الله به الحق ودفع به الضلال وأوضح به المنهاج وقمع به بدع المبتدعين وزيع الزائغين وشك الشاكين فرحمة الله عليه من إمام مقدم وجليل معظم وكبير مفهم.
            Tapi apakah dia benar-benar mengikuti Imam Ahmad? Di sini perlu dicatat bahwa ia memiliki cara tersendiri dalam mengikuti Imam Ahmad yang berbeda dari model Ibn Taimiyah misalnya. Ia misalnya dalam permasalahan يد الله , walau tidak melakukan takwil, tetapi sekaligus tidak menyatakan bahwa yang dikehendaki adalah tangan sebagai anggota tubuh. Ini artinya dia berpendirian, bahwa yad di sini tidak dikehendaki makna dzharinya sebagaimana disampaikan oleh Ibn Taimiyah. Kata al-Asy’ari:
وإذا فسدت الأقسام الثلاثة صح القسم الرابع وهو أن معنى قوله تعالى : (بيدي) إثبات يدين ليستا جارحتين ولا قدرتين ولا نعمتين
            Selain itu, masih dalam kitab yang sama, dia juga tetap pada pendirian bahwa Allah al-Khaliq tidak mungkin bersemayam pada Dirinya hal-hal yang bersifat hadits (baru), sehingga dalam masalah الكلام dia tetap memberi embel-embel لم يزل به متكلما , Allah berbicara dan selalu tetap berbicara (tanpa pernah terputus).
            Hal demikian ini perlu disampaikan untuk menyatakan bahwa walau dalam kitab Ibanah dia tidak melakukan takwil, tetapi konsepsi-konsepsi ilmu kalam masih dia pertahankan. Dengan itu, kita bisa memahami kenapa pada bukunya yang lain, yakni استحسان الخوض في علم الكلام dia terang-terangan membela sejumlah logika dalam ilmu kalam, hal mana itu bertentangann dengan pandangan Ahmad bin Hambal yang dalam buku Ibanah dia nyatakan sebagai imam madzhabnya.
            Menurut hemat penulis, di sini lah justeru kepiawaian Imam al-Asy’ari sehingga dia dijadikan model oleh NU dalam berakidah. Dia pada satu sisi membela Ahmad bin Hambal (salaf), namun pada sisi yang lain tetap memberi ruang bagi mereka yang melakukan takwil (khalaf). Dalam bahasa lain bisa dikatakan bahwa, Ahmad bin Hambal berada pada posisi yang benar, sementara khalaf berupaya untuk benar, tanpa meyakini sepenuhnya bahwa takwil yang disampaikan adalah pasti kebenaran yang dikehendaki oleh Allah swt. Sikap demikian ini pada akhirnya mampu mewariskan kriteria moderat dalam tubuh NU, hal yang saya kira patut dan perlu untuk dilestarikan.
            Sikap moderat yang ditampilkan oleh Imam Asy’ari ini mengantarkan pada persoalan pembaharuan. Sebagaimana diyakini oleh kalangan Nahdliyin, ia adalah bagian dari pembaharuan, bahkan ia adalah salah satu dari pembaharu atau mujaddid. Ia oleh banyak kalangan ditetapkan sebagai mujaddid kurun ke empat, di mana dia lahir pada tahun 260 H. dan wafat tahun 324 H. Dia dianggap mampu memadukan antara salaf dan khalaf, di mana keduanya diberi ruang kebenaran sesuai dengan proporsinya. Selain itu, dia telah mencontohkan dengan baik dan tepat pemaknaan tajdid serta realisasinya.
            Sementara ini, banyak kalangan yang mengartikan tajdid sebagai upaya mengembalikan kemurnian Islam seperti sedia kala pada era Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Abul A’la al-Maududi misalnya, ia mengartikan tajdid sebagai berikut:
فحقيقة التجديد تعني تغيير الصورة التي ألفها المسلمون وغيرهم عن دينهم ، وتطهيره من أدناس وقيم أنظمة أخرى علقت به وتحكمت في المسلمين طويلا، والعود بهم سريعا إلى خط الإسلام الواضح ونظامه المقرر في نظرته إلى الحياة الإنسانية، وتصوره المعين للإنسان والكون الذي يعيش فيه.
            Pandangan senada disampaikan oleh generasi sebelumnya seperti al-‘Alqami (w. 969 H), di mana dalam syarah hadits tajdid dia mengatakan:
معنى التجديد إحياء ما اندرس من العمل بالكتاب والسنة والأمر بمقتضاهما.
            Pemaknaan demikian perlu disikapi dengan hati-hati, karena berpotensi melahirkan penghadiran model kehidupan abad satu hijriah pada abad modern. Selain itu, ini juga bisa berarti kemandegan inovasi-inovasi kreatif dalam menjalani kehidupan kontemporer. Ini pula yang melatari sebagian muslim menjadikan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pembaharu, padahal yang dia lakukan adalah memberhentikan denyut kehidupan pada abad pertama hijriah, hal yang secara esensial bertentangan dengan makna dasar tajdid.
            Ini lain dengan apa yang dicontohkan oleh Imam Asy’ari, di mana dia memaknai pembaharuan sebagai langkah-langkah inovatif dan kreatif dalam keberagamaan. Dalam Istihsanul Khawdhi fi ‘Ilmil Kalam, dia diantaranya berbicara mengenai jisim (fisik), apakah boleh mengatakan bahwa Allah swt. bukan fisik, sementara hal demikian tidak pernah dinyatakan dalam al-Quran? Menurut hemat penulis, Imam Asy’ari dengan kuat ingin mengatakan bahwa tajdid atau pembaharuan bukan kembali seperti era Rasulullah dan para sahabatnya, akan tetapi tajdid adalah inovasi-inovasi yang bermanfaat dalam keberagamaan selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah dinyatakan dalam agama.

Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen


Tidak ada komentar:

Posting Komentar